WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus suap dalam vonis bebas perkara korupsi ekspor minyak goreng terus menjadi sorotan.
Meski delapan orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk hakim dan pengacara, Kejaksaan Agung hingga kini belum menemukan bukti bahwa tiga korporasi besar di balik perkara tersebut terlibat langsung dalam aliran dana suap senilai Rp 60 miliar.
Baca Juga:
Rp915 Miliar dan 51 Kg Emas: Rahasia Kotor di Balik Mafia Hukum Sugar Group
Ketiga perusahaan tersebut, Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group, merupakan terdakwa dalam perkara yang diputus lepas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Vonis kontroversial ini menyatakan bahwa para terdakwa memang melakukan perbuatan sesuai dakwaan, tetapi membebaskan mereka karena dianggap bukan merupakan tindak pidana, atau dikenal sebagai putusan ontslag van alle rechtsvervolging.
Meski demikian, Kejaksaan telah menetapkan sejumlah pihak sebagai tersangka pemberi dan penerima suap.
Baca Juga:
Terkait Perkara Sugar Group & Marubeni, Zarof Akui Terima Rp50 Miliar
Di pihak pemberi, tercatat nama Muhammad Syafei, Head of Social Security Legal Wilmar Group, serta dua pengacara korporasi, Ariyanto dan Marcella Santoso.
Sedangkan di pihak penerima, Kejaksaan menetapkan Wakil Ketua PN Jakpus Arif Nuryanta, tiga hakim yang menyidangkan perkara (Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom), serta panitera Wahyu Gunawan.
“Penyidikan tidak berhenti. Kami sedang mendalami apakah ada pihak lain yang terlibat,” ujar Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, pada Rabu (14/5/2025).
Menurut Harli, penyidik masih terus melakukan pemanggilan saksi dan pemeriksaan lanjutan untuk menelusuri sumber uang suap tersebut.
Hingga kini, asal muasal dana Rp 60 miliar yang diberikan dalam bentuk mata uang dolar Amerika dan Singapura masih menjadi tanda tanya.
Dari hasil penyidikan, diketahui aliran dana dimulai dari Muhammad Syafei ke panitera Wahyu Gunawan, yang kemudian menyalurkan uang tersebut ke Wakil Ketua PN Jakpus Arif Nuryanta.
Arif kemudian menyerahkan Rp 4,5 miliar dan Rp 18 miliar ke tiga hakim, sementara Wahyu Gunawan menerima 500 ribu dolar AS sebagai bagian dari bagiannya.
Jaksa penuntut umum telah mengajukan kasasi atas putusan lepas tersebut.
Namun hingga kini belum ditemukan fakta bahwa ketiga korporasi secara institusional memberikan perintah atau menyetujui aliran suap.
Ancaman Hukuman Bila Korporasi Terbukti Terlibat
Jika kelak ditemukan bukti bahwa suap dilakukan atas nama atau sepengetahuan korporasi, maka ancaman pidana bisa sangat berat.
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 yang mengubah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perusahaan bisa dikenai denda, bahkan hingga pembubaran badan hukum, dan pengurus perusahaan dapat ikut dimintai pertanggungjawaban pidana.
Dalam Pasal 20 UU tersebut, ditegaskan bahwa tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh atau atas nama korporasi, dan tuntutan hukum bisa dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Dalam hal demikian, korporasi wajib diwakili oleh pengurus dalam setiap proses persidangan.
"Kalau bisa dibuktikan dana suap itu berasal dari kas perusahaan atau atas arahan struktural, maka bukan hanya pengurus yang terancam, tapi legalitas korporasinya juga bisa runtuh," ujar pengamat hukum Rita Rianti.
Kejaksaan menyatakan proses penyidikan masih terbuka dan kemungkinan penambahan tersangka belum tertutup, termasuk dari kalangan pengurus perusahaan.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]