WahanaNews.co | Jaksa penuntut umum (JPU), Hendri Edison, menuntut Wildan Aswan Tanjung, mantan Bupati Labuhanbatu Selatan, hukuman penjara selama 1,5 tahun.
Dia juga didenda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan dalam kasus korupsi uang insentif pemungutan Pajak Bumi, dan Bangunan (PBB) senilai Rp 1,9 miliar.
Baca Juga:
Jaringan Narkoba Fredy Pratama, Selebgram Adelia Divonis 5 Tahun Bui
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Wildan Aswan Tanjung berupa pidana penjara selama 1,5 tahun, dan denda sebesar Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan," kata Hendri di Pengadilan Negeri Medan, Rabu (12/1).
Di depan ketua majelis hakim, Saut Maruli Tua, JPU menilai perbuatan Wildan terbukti bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana yaitu dakwaan subsider," ungkap Hendri.
Baca Juga:
Usai Bunuh Polisi, Remaja di Lampung Divonis 9,5 Tahun Penjara
Dalam dakwaan, Wildan didakwa menggunakan uang insentif pemungutan PBB pada sektor perkebunan dari pemerintah pusat untuk digunakan sebagai tambahan penghasilan. Kasus ini berawal pada tahun anggaran 2013 hingga 2015 Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Labuhanbatu Selatan menerima biaya pemungutan PBB sektor perkebunan dari pemerintah pusat yang nilainya miliaran rupiah per tahun.
Namun, uang itu digunakan Wildan bersama saksi lainnya yakni pejabat di Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan, dan Aset Negara Pemkab Labuhanbatu Selatan yaitu Marahalim Harahap serta Salatielo Laoli untuk memperkaya diri.
Kemudian, pada 23 Mei 2013 Wildan sepakat menggunakan dana insentif PBB sektor perkebunan yang diterima Pemkab Labuhanbatu Selatan bersama Marahalim Harahap, dan Salatieli Laoli sebagai tambahan penghasilan. Padahal, mereka mengetahui bahwa Pemkab Labuhanbatu Selatan tidak memiliki tugas, dan kewenangan untuk menerima atau menggunakan dana insentif sebagai tambahan penghasilan.
Pasalnya, kegiatan pemungutan PBB sektor perkebunan adalah tugas, dan kewenangan dari pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. Kemudian, untuk melaksanakan keinginan menggunakan dana insentif PBB sektor perkebunan sebagai tambahan penghasilan, Wildan menandatangani Surat Perintah Bupati Labuhanbatu Selatan Nomor: 821.24/1165/BKD/II/2013 yang mengangkat terdakwa Marahalim Harahap sebagai Plt Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan.
Dalam peraturan bupati tersebut dijelaskan tentang penggunaan, dan tata cara penyaluran biaya pemungutan PBB. Pembagian biaya insentif pemungutan PBB untuk sektor perkebunan, dan perhutanan ada bagian bupati sebesar 25 persen, wakil bupati 15 persen, sekretaris daerah 15 persen. Lalu, Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Daerah sebesar 45 persen.
Pemungutan PBB sektor perkebunan sebagai insentif telah melanggar asas kepatutan, dan manfaat bagi masyarakat di mana sesuai dengan defenisi, insentif pemungutan pajak serta retribusi adalah tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja tertentu dalam melaksanakan pemungutan pajak maupun retribusi. Sementara, daerah tidak memiliki peran, dan tidak ada melakukan pemungutan PBB sektor perkebunan.
Namun oleh terdakwa bersama rekannya, tetap memanfaatkan biaya pemungutan PBB dari sektor perkebunan tersebut untuk dibagi-bagi sebagai insentif di antara pejabat daerah Pemkab Labuhanbatu Selatan, serta pegawai negeri di lingkungan Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Daerah.
Perbuatan Wildan itu dinilai telah melawan hukum karena melakukan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain maupun suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp1.966.683.208.
Sementara, Marahalim Harahap, dan Salatielo Laoli telah divonis pada Desember 2020 dengan hukuman penjara selama 1 tahun, dan denda Rp 50 juta. [bay]