WAHANANEWS.CO, Jakarta - KPK akhirnya membuka sedikit tabir gelap kasus dugaan jual-beli kuota tambahan haji 2024 yang nilainya mencengangkan, mencapai sekitar Rp 1 triliun.
Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, pada Kamis (25/9/2025) di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Jakarta, mengungkap adanya sosok juru simpan uang hasil korupsi yang disebutnya berlapis.
Baca Juga:
KPK Tahan Direktur PT WA, Terungkap Skema Suap Perkara di MA
"Jadi, ini juru simpan bertingkat ya. Bertingkat itu maksudnya, jadi pengumpul itu tidak hanya langsung dari satu orang, karena ini kan seluruh Indonesia nih," kata Asep Guntur.
Ia menjelaskan, para juru simpan ini diduga menampung dana dari agen travel haji yang berasal dari ribuan jemaah.
Setelah terkumpul, uang tersebut kemudian diserahkan ke oknum di Kementerian Agama agar agen tersebut bisa mendapatkan jatah kuota haji khusus.
Baca Juga:
Kejar Rp 60 Triliun, Menkeu Gandeng KPK Tangani 200 Penunggak Pajak
"Nanti di Kemenag juga ini kan oknum-oknumnya bertingkat, ada pada level pelaksana, ada pada tingkatan dirjen, ada pada tingkatan yang lebih atasnya lagi. Jadi ini ngumpul, ngumpulnya gitu, itu yang sedang kita dalami, ya pasti ujungnya pada satu orang, pada pengumpul utama, gitu," beber Asep.
Asep menegaskan, KPK tidak bekerja sendirian dalam menelusuri aliran uang haram tersebut, melainkan juga dibantu PPATK.
"Jadi setelah terkumpul kan pasti dibagi ini, atau dialirkan ke mana, gitu. Makanya kami menggandeng PPATK dan lainnya untuk melihat, ini ke mana ini larinya, ke siapa saja, gitu, seperti itu," ujarnya.
Sebagai catatan, KPK sebelumnya telah mencegah mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, eks staf khusus Menag Ishfah Abdul Aziz (IAA), serta pihak travel Fuad Hasan Masyhur (FHM) ke luar negeri untuk memudahkan jalannya penyidikan.
Selain itu, penyidik KPK juga telah menyita sejumlah dokumen, barang bukti elektronik, dan uang yang diyakini kuat memiliki keterkaitan dengan kasus dugaan jual-beli kuota haji tersebut.
Adapun pengusutan ini dilakukan dengan menerbitkan surat perintah penyidikan umum menggunakan jeratan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU Nomor 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2021 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]