“Tanpa pengawasan yudisial yang kuat terhadap seluruh upaya paksa, KUHAP Baru berisiko membuka ruang abuse of power karena banyak kewenangan penyidik (mulai dari penahanan hingga penyadapan) dapat dijalankan secara subjektif tanpa safeguard memadai,” ujarnya.
Usai pemaparan, Peserta webinar menanyakan implikasi praktis regulasi baru terhadap standar pemeriksaan praperadilan, serta kesiapan lembaga peradilan dalam memperkuat fungsi kontrol terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum.
Baca Juga:
Alatan Indonesia Bocorkan Cara UMKM Masuk Proyek Pemerintah Lewat TKDN
Diketahui, kegiatan itu digelar sebagai respons akademik atas pengesahan KUHAP Baru yang dinilai membawa perubahan besar dalam sistem peradilan pidana, terutama terkait prosedur upaya paksa dan ruang intervensi aparat penegak hukum.
Para pembicara sepakat bahwa tanpa batasan yuridis yang jelas dan mekanisme pengawasan berlapis, perubahan dalam KUHAP berpotensi mendorong kriminalisasi tindakan warga serta memperlemah perlindungan hak tersangka.
Baca Juga:
OJK Segera Luncurkan Aturan Turunan UU P2SK
Selain itu, absennya mandat eksplisit terkait judicial scrutiny dinilai dapat mengurangi peran hakim sebagai penjaga keadilan dalam proses penyidikan.
Melalui webinar ini, ditegaskan urgensi memperkuat mekanisme pengawasan yudisial sebagai langkah pencegahan atas penyalahgunaan kewenangan dalam implementasi KUHAP Baru.
Meski telah disahkan, regulasi tersebut dinilai masih membutuhkan penegasan teknis agar tidak membuka ruang kriminalisasi dan pelanggaran HAM dalam praktik penegakan hukum ke depan.