"Apakah
badan swasta atau milik negara itu mungkin di lapangan tidak sesuai dengan
luasan hak yang diberikan, misalnya ada konsesi yang diberikan di atas haknya
10 ribu ha tapi di lapangannya 15 ribu ha. Itu berarti, bagaimana laporan keuangannya ke
negara? Ini merugikan negara," ujarnya.
Dengan
lima ribu hektare yang tidak sesuai haknya, kata dia, itu sudah masuk tindak
pidana korupsi, karena tidak dilaporkan ke negara.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
Belum
lagi, kata Dewi, HGU yang kadarluarsa tapi masih bisa beroperasi.
"Kalau
tidak ada dasar HGU, dia tidak bisa melampirkan keuntungannya kepada negara.
Termasuk menyetorkan kewajiban pembayaran ke negara, karena sudah kadarluarsa. Di Jawa, tidak
pernah ada proses yang serius dari KPK," tuturnya.
Dewi
bahkan pesimistis, dan menyebut KPK saat ini lemah.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
"Dulu, masih powerfull saja, tidak ada yang ditindak. Alasannya
mungkin tidak ada bukti yang kuat untuk tangkap tangan. Harus ada investigasi
ke modus agrarianya," kata dia.
Seperti
diketahui, kasus pemalsuan sertifikat tanah di Cakung menyeret tiga orang
tersangka, yakni mantan juru ukur BPN Jakarta Timur, Paryoto,
Benny Tabalujan, dan Achmad Djufri.
Saat ini, Benny
berada di Australia, dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).