WahanaNews.co | Ketum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan menoloak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa pimpinan organisasi advokat maksimal 2 periode/10 tahun. Otto menilai otusan tersebut malah memicu polimik organisasi advokat.
"Putusan MK yang diharapkan bisa memberikan keadilan bagi seluruh pihak, kali ini justru menimbulkan polemik dan sangat mencerminkan ketidakadilan. Secara nyata MK melalui putusannya tersebut telah menafsikan independensi dan kebebasan berserikat bagi para advokat, karena masa jabatan kepemimpinan di dalam organisasi advokat yang seharusnya ditentukan sendiri oleh para anggota organisasi profesi tersebut, justru dibatasi oleh MK," kata Otto Hasibuan kepada wartawan, Kamis (3/11/2022).
Baca Juga:
Sambut Baik Dukungan Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya, Al Haris : Buktikan Kita Solid
Menyatakan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4288) yang menyatakan:
“Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat daerah' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.”
"Putusan MK tersebut sarat akan kekeliruan," kata Otto Hasibuan menegaskan.
Baca Juga:
Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya Dukung Al Haris - Sani di Pilgub Jambi 2024
Otto memberikan sejumlah alasan. Yaitu:
1. Putusan Nomor: 91/PUU-XX/2022 kabur, karena dalam putusan tersebut MK menyebutkan:
"Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, ... dst",
Tetapi tidak ada penjelasan yang menguraikan tentang siapa yang dimaksud dengan "pimpinan organisasi advokat" tersebut, sedangkan faktanya yang dimaksud dengan Pimpinan Organisasi dalam organisasi advokat PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) terdiri dari Dewan Pimpinan Nasional (DPN) di tingkat pusat, yaitu Ketua Umum, Wakil-wakil Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, Wakil-wakil Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum, Wakil-wakil Bendahara Umum dan lain-lain, serta Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia yang dipimpin oleh Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, Para Wakil Sekretaris, Bendahara, Wakil-wakil Bendahara, dan lain-lain.
Selain itu, jika putusan MK tersebut dipaksakan untuk diterapkan, akan terjadi kelumpuhan pada kepengurusan organisasi-organisasi advokat yang ada saat ini, karena faktanya organisasi-organisasi advokat tersebut dipimpin oleh kepengurusan yang sudah melewati masa jabatan dua kali periode. Oleh karena baik dalam pertimbangan maupun amar putusan dalam perkara tersebut tidak jelas mengenai siapa sebenarnya yang dimaksud dengan 'pimpinan organisasi advokat' yang diatur tentang masa jabatannya, sehingga mengakibatkan putusan tersebut menjadi kabur (obscuur libel), tidak dapat dieksekusi (non executable), oleh karenanya tidak memiliki implikasi yuridis terhadap organisasi advokat.
2. Putusan Nomor: 91/PUU-XX/2022 melanggar prinsip keadilan, karena melanggar asas audi et alterampartem di mana Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar. Hal ini sejalan dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang disampaikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh dalam Putusan Nomor: 91/PUU-XX/2022, bahwa dalam perkara tersebut perlu didengar keterangan dari pihak-pihak lain, baik DPR, Pemerintah, maupun Pihak Terkait, yang dalam hal ini adalah organisasi advokat. Tetapi pada kenyataannya MK dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan dalam perkara tersebut hanya membaca dan mendengar keterangan dari Pemohon saja, sama sekali tidak mendengar keterangan dari pihak-pihak yang lain; padahal sangat jelas bahwa ketentuan peraturan perundangan yang dimohonkan uji oleh Pemohon adalah menyangkut kepentingan organisasi advokat, tetapi MK tidak ada mendengar keterangan dari organisasi advokat sebagai Pihak Terkait dalam perkara tersebut, dan juga tidak ada saksi maupun ahli yang diperiksa.
3. Logika berpikir yang menjadi dasar pertimbangan MK dalam menjatuhkan Putusan Nomor: 91/PUU-XX/2022 sangatlah keliru, karena menganalogikan 'kepimpinan' dalam organisasi profesi (dalam hal ini organisasi advokat) sebagai suatu bentuk 'kekuasaan' yang harus dibatasi dan dikontrol oleh negara, seperti halnya kepemimpinan dalam lembaga aparatur hukum negara (kehakiman, kejaksaan dan kepolisian); padahal hal tersebut tidaklah benar, karena kepengurusan dalam suatu organisasi advokat berlandaskan pada 'pengabdian dan pelayanan' di mana semua pengurusnya tidak digaji, termasuk 'pimpinan organisasi' tersebut, selain itu sumber keuangan organisasi advokat bukan berasal dari pemerintah, sehingga tidak tepat apabila 'kepemimpinan' dalam organisasi advokat dianggap sebagai "kekuasaan" yang harus dibatasi dan dikontrol oleh negara melalui undang-undang.
4. Dengan dibatasinya masa jabatan pimpinan organisasi advokat jelas merupakan bentuk pengekangan yang tidak sah menurut konstitusi, di mana organisasi advokat bukan dibentuk oleh pemerintah, melainkan dibentuk oleh para anggota yang terdiri dari para advokat yang mempunyai independensi untuk berserikat sebagaimana dimaksud pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Kedaulatan tertinggi dalam organisasi profesi advokat berada di tangan anggota dan anggotalah yang berwenang untuk membuat aturan mengenai organisasinya sendiri, termasuk menentukan dan menyepakati bersama tentang masa jabatan pimpinan organisasi, bukan MK.
"Dengan demikian, Putusan MK Nomor: 91/PUU-XX/2022 ini tidak dapat dilaksanakan (non executable), karena akan mengakibatkan kelumpuhan pada kepengurusan organisasi-organisasi advokat yang ada saat ini, dan akan menimbulkan kegaduhan yang tidak berkesudahan karena pimpinan-pimpinan organisasi yang jumlahnya tidak sedikit tersebut harus turun dari jabatannya, baik di tingkat pusat/nasional maupun di tingkat cabang/daerah, dan tidak dapat lagi menjadi pimpinan, sehingga kegaduhan tidak mungkin dapat dihindarkan," kata Otto tegas.
"Jadi, sekali lagi Putusan MK Nomor: 91/PUU-XX/2022 tidak memiliki implikasi yuridis terhadap organisasi advokat," pungkasnya. [tum]