WahanaNews.co, Jakarta – Staf Pengajar Tidak Tetap Ilmu Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menilai pelanggaran etik mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman saat mengetuk palu Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 dinilai tidak akan menggugurkan pasangan calon (paslon) dari kontestasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024.
Hal tersebut disampaikan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu di web seminar (webinar) berjudul “Konstitusionalitas Pilpres 2024: Permasalahan Etika Bisa Eliminasi Capres-Cawapres?” yang diselenggarakan oleh Magister Ilmu Hukum UI, Kamis (28/12/2023).
Baca Juga:
Jadi Alat Bantu Proses Demokrasi, Perludem: Sirekap Tak Perlu Ditutup
Titi pun kemudian menjelaskan lima pelanggaran yang dapat mengeliminasi kepesertaan paslon sesuai Undang-Undang Pemilu.
Pertama, jika paslon terbukti melakukan tindak pidana yang melanggar larangan kampanye berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah.
“Dalam UU Pemilu Pasal 280 dan 284, ada larangan kampanye. Uniknya, dalam pemilu serentak seperti pilpres dan pemilihan legislatif (pileg), diskualifikasi berlaku bagi peserta yang melanggar larangan kampanye sebagai tindak pidana,” ujar Titi dalam siaran pers dikutip dari Kompas.com, Sabtu (30/12/2023).
Baca Juga:
Presiden Jokowi Tegaskan Proses Pemilihan Kepada Daerah Dilakukan Secara Terbuka
Adapun inkrah dalam diskualifikasi hanya berlaku untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, diskualifikasi paslon di pilpres tidak termasuk dalam ketentuan ini.
Kedua, adanya rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal tersebut, kata Titi, juga harus dibuktikan dengan pelanggaran peraturan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dengan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lain untuk memengaruhi penyelenggara pemilu dan/atau pemilih.
“Hal ini diatur dalam UU Pemilu Pasal 286. Jadi, harus ada rekomendasi dari Bawaslu terkait praktik uang yang bersifat TSM,” ucap Titi.
Ketiga, lanjutnya, melakukan pelanggaran administratif pemilu secara TSM berdasarkan putusan dari Bawaslu.
Keempat berkaitan dengan laporan dana awal kampanye pemilu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Di sinilah uniknya UU Pemilu kita. Diskualifikasi kalau tidak menyampaikan laporan dana awal kampanye itu hanya untuk partai politik (parpol) peserta pemilu dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD), tapi paslon (Pilpres) tidak ada sanksi serupa,” tutur Titi.
Kelima, sambungnya, paslon bisa didiskualifikasi jika ada putusan MK soal perselisihan hasil pemilu.
“Diskualifikasi oleh MK hanya mungkin kalau dari hasil perselisihan pemilu, MK memutuskan ada diskualifikasi itu. Di pilpres dan pileg tidak pernah ada, tapi di pemilihan kepala daerah (pilkada) ada. Dulu ada di Sabu Raijua itu warga negara asing menang pemilu jadi didiskualifikasi,” ucap Titi.
Ia menegaskan bahwa terdapat dua hal terkait diskualifikasi paslon. Pertama, paslon tidak memenuhi persyaratan sebagai calon dan itu baru terbukti ketika prosesnya sampai di MK.
"Kedua, jika paslon melakukan kecurangan pemilu yang bersifat TSM, terutama terkait dengan politik uang, intimidasi, dan sebagainya," urai Titi.
[Redaktur: Alpredo Gultom]