WahanaNews.co, Jakarta – Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul mengatakan pada prinsipnya, putusan pengadilan itu hanya bisa dibatalkan oleh putusan pengadilan.
Para terpidana pada kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon dapat menggunakan putusan yang menyatakan adanya kesaksian palsu sebagai novum atau bukti baru untuk menempuh jalur hukum peninjauan kembali (PK).
Baca Juga:
Gegera Ribut Saat Sidang PK, Hakim Tegur Kuasa Hukum Saka Tatal
Adapun laporan dugaan kesaksian palsu yang dilayangkan 7 terpidana terhadap Dede itu kini tengah diproses pihak kepolisian. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan yang akan dilakukan pihaknya saat ini adalah melakukan gelar perkara awal.
"Putusannya itu kalau misal (Dede) terbukti (memberikan kesaksian palsu) itu dipakai sebagai bukti baru untuk PK," ujar Chudry melansir CNN Indonesia, Rabu (24/7).
Penggunaan putusan tersebut sebagai novum guna mengajukan upaya PK diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi:
Baca Juga:
Jaksa Nilai 5 Bukti yang Dibawa Saka Tatal di Sidang PK Bukan Novum
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kendati demikian, Chudry mengatakan proses laporan itu hingga putusan boleh jadi memakan waktu. Sebab, mesti melalui pelbagai proses di kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan.
Ia mengatakan terdapat cara lain yang dapat ditempuh untuk mendapatkan novum tersebut, yakni melalui keterangan di depan notaris. Afidavit merupakan pemberian keterangan tertulis di bawah sumpah.
Secara teoritis, kata Chudry, afidavit dapat digunakan sebagai novum dalam PK perkara pidana. Menurut dia, ada beberapa kasus PK pidana didasarkan afidavit.
"Dia berikan keterangan, bikin pernyataan di depan notaris, itu yang dipakai nanti dasar novum. Terus nanti kan si Dede itu kan kalau dijadikan PK, dia didengar kesaksiannya di depan hakim," kata Chudry.
Dan apabila Dede ternyata terbukti memberikan keterangan palsu, maka para terpidana yang telah maupun yang saat ini masih menjalani hukuman merupakan korban salah tangkap pihak kepolisian.
"Iya betul. Jadi 8 korban orang itu korban lah jadinya kan gitu," jelas Chudry.
Di sisi lain, Chudry menilai Dede akan sulit dikenakan dengan Pasal 242 ayat (2) KUHP sebagaimana laporan yang tengah diproses sekarang. Hal itu karena Dede tidak hadir dan tidak disumpah di dalam persidangan.
Oleh karenanya, mesti dibuktikan apakah keterangan yang Dede sampaikan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) itu di bawah sumpah atau tidak.
Keterangan palsu harus diproses hukum
Terpisah, Pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan bahwa jika ada pengakuan terkait kesaksian palsu, maka seharusnya ada proses hukum terhadap pengakuan tersebut sebagai pemberi keterangan palsu.
Sekaligus, kata Abdul, juga memproses hukum siapa yang menyuruh atau memaksanya memberikan keterangan palsu.
"Putusan pengadilan tentang keterangan palsu ini, bisa digunakan sebagai novum atau keadaan baru atau bukti baru bisa digunakan sebagai dasar mengajukan PK para terpidana," ujar Abdul kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/7).
"Kemudian menunggu keputusan PK dari MA dan putusan ini akan menjadi bukti baru apakah korban Eky dan Vina itu dianiaya sampai mati atau kah benar hanya kecelakaan lalu lintas," sambung dia.
Apabila terbukti adanya penganiayaan, jelas dia, putusan PK di tingkat Mahkamah Agung (MA) itu nantinya akan menilai apakah para terpidana benar-benar pelakunya atau tidak.
"Jika disimpulkan terjadi penganiayaan maka putusan PK MA itu akan memutuskan apakah benar para pemohon PK itu pelakunya. Karena itu semuanya akan tergantung pada putusan PK," imbuh dia.
Keluarga terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon mengklaim telah menyerahkan bukti baru terkait kesaksian palsu yang diberikan oleh Dede.
Pengacara enam terpidana, Roely Panggabean mengatakan bukti baru tersebut bakal diserahkan sekaligus memenuhi undangan gelar perkara awal dari penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
"Kami dari tim kuasa hukum terpidana datang ke Bareskrim atas undangan penyelidik yang akan tentu saja meminta keterangan kami dan menggelar perkaranya," kata Roely kepada wartawan, Selasa (23/7).
"Hari ini akan kami ajukan satu bukti tambahan baru. Di mana bukti tambahan ini baru kami dapat beberapa waktu yang lalu," imbuh dia.
Sebelumnya, Bareskrim Polri mengaku mulai menyelidiki laporan dugaan keterangan palsu yang disampaikan Aep dan Dede di kasus pembunuhan pasangan kekasih Vina dan Eky.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo mengatakan proses penyelidikan dimulai lewat gelar perkara awal dengan memanggil pihak-pihak pelapor pada Selasa (23/7).
[Redaktur: Alpredo Gultom]