Hal ini berbeda dengan Indonesia yang merupakan negara Demokrasi.
"Konsep matahari kembar yang menimbulkan dampak negatif hanya dikenal dalam budaya kekuasaan negara Monarki dan Kekaisaran. Dan, negara kita tidak menganut sistem monarki maupun kekaisaran. Indonesia adalah negara demokrasi," kata Luqman.
Baca Juga:
Soal Hasil Pilpres 2024: PTUN Jakarta Tak Terima Gugatan PDIP, Ini Alasannya
Menurut Luqman, opsi Pemilu 21 Februari 2024 telah diperhitungkan dengan tepat.
Sehingga penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada dapat berjalan sukses.
"Opsi coblosan Pemilu 21 Februari 2024, sudah menghitung dengan detail seluruh tahapan yang diperlukan untuk pelaksanaan Pemilu dan Pilkada agar bisa sukses digelar," tuturnya.
Baca Juga:
KPU Labura Verifikasi Berkas Calon Bupati dan Wakil Bupati di Rantau Prapat: Pastikan Dokumen Sah
Namun, bila Pemilu dilakukan 15 Mei maka akan memiliki banyak resiko.
Salah satunya penyelesaian sengketa MK yang dapat membuat masyarakat tidak memiliki waktu untuk menyeleksi bakal calon kepala daerah.
"Apabila coblosan Pemilu dilakukan 15 Mei 2024, maka penyelesaian sengketa hasil pemilu oleh MK bisa rampung di dalam bulan September-Oktober 2024. Resikonya, masyarakat dan partai politik sama sekali tidak punya waktu untuk melakukan seleksi bakal calon kepala daerah. Lebih tragis lagi, pendaftaran calon kepala daerah ke KPUD tidak dapat dilaksanakan tepat waktu. Akibatnya, sudah pasti coblosan Pilkada serentak tidak bisa dilakukan di dalam bulan November 2024. Dan, Pilkada pun gagal dilaksanakan," ujarnya.