"Dengan demikian maka partai politik tersebut otomatis tidak lolos masuk Senayan [DPR] karena ambang batas parlemen itu empat persen suara sah nasional. Jelas ini cara berpikirnya kacau," kata Ridho.
Ridho mengatakan ketidakadilan ambang batas parlemen ini bisa dilihat pada kasus PPP yang pada Pemilu 2019 meraih 4,52 persen suara sah nasional. Padahal, kata dia, PPP hanya meraih 19 kursi dari dapil padat penduduk di sejumlah provinsi.
Baca Juga:
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Tegaskan Ibu Kota Negara Masih Jakarta
Ia menilai penerapan ambang batas parlemen yang berdasar atas perolehan suara sah nasional tidak masuk akal, tidak proporsional, dan tidak adil.
"Bahkan lebih dari itu, sangat tidak mencerminkan keterwakilan pemilih yang tersebar dan beragam di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata dia.
Ridho lantas memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, membatalkannya demi hukum, dan melakukan perbaikan atasnya.
Baca Juga:
Cerita di Depan DPR Tangis Ibu Korban Bully PPDS Undip Pecah
Oleh karena itu, dalam gugatan yang akan dimasukkan nanti, Partai Ummat memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar basis ambang batas perlemen tidak hanya didasarkan pada jumlah empat persen suara, tetapi juga jumlah empat persen kursi di parlemen.
Terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Ummat Buni Yani mengatakan tim hukum Partai Ummat sedang bekerja untuk mengajukan gugatan ini ke MK dalam waktu dekat.
"Kalau yang dimaksud 'sudah dilayangkan' itu 'sudah mendaftarkan' gugatan ini ke MK, jawabannya 'belum'. Sedang dalam proses. Tidak lama lagi akan didaftarkan ke MK," kata Buni Yani, Selasa.