WahanaNews.co |
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej,
mengatakan, pasal penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam
RUU KUHP berbeda dengan pasal yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Perbedaannya ada pada jenis delik dalam pasal
tersebut.
Baca Juga:
IKADIN Sambut Baik Disahkannya RUU KUHP Jadi Undang-undang
"Pasal penghinaan terhadap Kepala Negara
itu, yang pertama, berbeda dengan yang sudah dicabut oleh Mahkamah
Konstitusi," ujar Edward di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Pasal penghinaan Presiden dalam RUU KUHP yang
baru, lanjutnya, merupakan delik aduan.
Artinya, hanya Presiden atau Wakil Presiden
yang bisa melaporkan.
Baca Juga:
RUU KUHP Disahkan Menjadi UU, Sekjen Kemenkumham : Alhamdulillah
Sementara, Mahkamah Konstitusi sebelumnya
mencabut pasal penghinaan yang merupakan delik biasa.
"Kalau dalam pembagian delik, pasal
penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa.
Sementara dalam RUU KHUP itu merupakan delik aduan," kata Edward.
"Kalau delik aduan, itu yang harus
melapor adalah Presiden atau Wakil Presiden sendiri," sambungnya.
Pasal tentang penghinaan terhadap Presiden dan
Wakil Presiden itu menjadi salah satu pasal yang mendapat sorotan dalam RUU
KUHP.
Dalam Pasal 217, pada Bab II soal Tindak
Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, disebutkan, setiap
orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk
dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun.
Sementara, Pasal 218 berbunyi:
Ayat 1: Setiap orang
yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden
atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan
atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ayat 2: Tidak merupakan
penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Sementara Pasal 219, mengatur tentang gambar
atau biasa dikenal dengan meme Presiden di media elektronik atau media
sosial.
Hal tersebut bisa termasuk melanggar pidana
apabila dianggap menyerang kehormatan dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
[dhn]