WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menyusun peraturan terkait pilkada berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Pernyataan ini disampaikan Doli sebagai tanggapan terhadap sikap KPU terkait polemik syarat pencalonan kepala daerah yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun kemudian dianulir oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Baca Juga:
Bawaslu Beber Alasan Video Prabowo Kampanyekan Luthfi-Yasin Tak Langgar Aturan
"Sebagai pelaksana undang-undang, KPU harus mengikuti undang-undang," kata Doli di Senayan, Jakarta, Rabu (22/8/2024).
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menekankan bahwa KPU harus merujuk pada undang-undang terbaru dalam merumuskan peraturan pilkada.
"Mereka adalah pelaksana undang-undang, jadi harus menjalankan undang-undang terbaru," tambah Doli.
Baca Juga:
Ketua Bawaslu: Seharusnya Pemilu dan Pilkada Dipisah Tak Digelar Dalam Satu Tahun
Doli pun menolak memberikan komentar lebih lanjut terkait revisi yang baru dilakukan oleh Baleg DPR RI terhadap UU Pilkada.
"Soal itu, tanyakan saja kepada teman-teman di Baleg," ucapnya.
Sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Baleg DPR RI baru saja menolak untuk menjalankan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia minimum calon kepala daerah.
MK telah menegaskan bahwa usia minimal calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU. Namun, Baleg DPR memilih untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang kontroversial, yang menghitung usia minimal tersebut sejak tanggal pelantikan.
Keputusan ini diambil dalam rapat Rabu (21/8/2024) dengan cepat. Mayoritas fraksi, kecuali PDI-P, memandang bahwa putusan MA dan MK bisa diambil salah satunya sebagai pilihan politik masing-masing fraksi.
Baleg juga memodifikasi Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu, dengan membatasi pelonggaran threshold ini hanya berlaku untuk partai politik di luar DPRD.
Ketentuan itu menjadi ayat tambahan pada Pasal 40 revisi UU Pilkada yang dibahas oleh panja dalam kurun hanya sekitar 3 jam rapat.
Sementara itu, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mengatur threshold 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi parlemen.
Padahal, justru pasal itulah yang dibatalkan MK dalam putusannya kemarin. Tidak ada perlawanan berarti dari para anggota panja untuk membela putusan MK yang sebetulnya berlaku final dan mengikat.
Revisi UU Pilkada tersebut setidaknya berimplikasi terhadap dua hal.
Pertama, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Kaesang Pangarep dapat maju sebagai calon gubernur/wakil gubernur karena memenuhi syarat usia yang diatur dalam revisi UU Pilkada.
Kedua, PDI-P berisiko tidak dapat mengajukan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta karena jumlah kursi di DPRD Jakarta tidak mencukupi, sementara partai politik lainnya telah memberikan dukungan kepada pasangan Ridwan Kamil-Suswono.
Padahal, sejak 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menegaskan bahwa putusan MK terkait konstitusionalitas undang-undang harus diikuti.
Mahkamah menyatakan bahwa segala tindakan yang seolah-olah menganggap sah bagian dari undang-undang yang telah dibatalkan MK adalah tindakan ilegal.
"Jadi, jika ada lembaga atau masyarakat yang tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, itu merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi," demikian bunyi Putusan Nomor 98/PUU-XVI/2018.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]