WahanaNews.co | Di mata peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Yuris Rezha Kurniawan, kegaduhan beredarnya foto bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di meja pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa dikaitkan dengan pemicu pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
"Soal bendera di meja pegawai KPK, kami berpandangan bahwa isu ini tidak bisa dikaitkan dengan framming keberadaan organisasi tertentu di KPK yang menyebabkan sebagian pegawai KPK tidak lolos TWK," kata Yuris, Senin (4/10).
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
Pasalnya, kata Yuris, berdasarkan informasi yang beredar kalau foto tersebut diambil dari ruangan di lantai 10 ruang penuntutan yang notabene diisi oleh pegawai dari instansi lain, bisa dari Kejaksaan maupun pihak kepolisian.
"Oleh karena itu, kalaupun informasi soal keberadaan bendera HTI itu benar, maka tidak ada kaitannya dengan pegawai independen KPK. Apalagi dikaitkan dengan 58 pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK sama sekali tidak berhubungannya," katanya.
Terlebih, Yuris memandang berdasarkan keterangan salah satu mantan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tata Khoiriyah, disebutkan kalau kasus bendera HTI tidak terbukti dalam proses pengawasan internal KPK.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
"Sehingga isu ini sama sekali tidak bisa mengkonfirmasi bahwa di KPK telah disusupi," ujarnya.
Atas hal itu, Yuris mengatakan jangan adanya isu soal bendera HTI di Gedung KPK menjadi alat melegitimasi keberadaan organisasi terlarang, maupun mengamini soal isu "Taliban" yang selama ini digulirkan di KPK.
"Tapi dalam pandangan kami, jangan sampai isu ini membuat publik bias seolah-olah mengkonfirmasi keberadaan Taliban atau organisasi apapun itu menyusup di KPK," tuturnya.
"Sangat jelas bahwa ini tidak dapat dikaitkan dengan proses pemecatan 58 pegawai KPK yang sampai hari ini masih belum mendapatkan kejelasan dari proses TWK yang dilakukan," lanjutnya.
Keterangan Mantan Pegawai KPK
Sebelumnya, salah satu mantan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tata Khoiriyah angkat suara soal beredarnya foto viral terkait sebuah foto bendera HTI yang terpasang di meja kerja salah satu pegawai di ruang kantor gedung KPK.
Dalam keterangannya, Tata mengungkap jika foto tersebut diambil oleh seorang satpam bernama Iwan Ismail yang merupakan pegawai tidak tetap (PTT) di bagian pengamanan rutan (rumah tahanan). Dengan tugas pengamanan terhadap tersangka dari Rumah Tahanan KPK atau rutan lainnya.
"Sehingga dia memiliki akses yang terbatas dan khusus untuk bisa memasuki ruangan-ruangan di KPK. Sistem pengamanan di KPK memang sangat ketat dan dibatasi. Ada pembagian akses yang ditentukan berdasarkan kewenangan tugas yang dimilikinya," kata Tata, dikutip pada Minggu (3/10).
Namun demikian, Tata mempertanyakan walaupun Iwan memiliki akses untuk ke ruang-ruang terkhusus. Namun foto yang diambil di lantai 10 ruang kerja penuntutan tidaklah bisa diakses oleh pegawai di luar ruang tersebut.
"Foto dimana bendera HTI tersebut diambil di Lt. 10 ruang kerja penuntutan yang diisi oleh para Jaksa yang ditempatkan/dipekerjakan KPK. Mas Iwan ini tidak memiliki akses masuk keruangan tersebut," kata Tata.
"Lantas dari mana mas Iwan tahu ada bendera terpasang dan memiliki akses untuk masuk ruangan tersebut? Mas Iwan bilang sedang berkeliling cek ruangan, sedangkan tugasnya sendiri ditempatkan di rumah tahanan," tambahnya.
Klarifikasi KPK
Sementara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan pihaknya memecat seorang pegawai lantaran memotret bendera mirip Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan menyebarluaskannya.
Pegawai bernama Iwan Ismail yang bekerja sebagai keamanan di KPK ini dipecat lantaran menyebarkan berita bohong. Pasalnya, bendera yang difoto dan disebarluaskan Iwan Ismail pada 2019 itu bukan bendera HTI.
"Yang bersangkutan sengaja dan tanpa hak telah menyebarkan informasi tidak benar atau bohong dan menyesatkan ke pihak eksternal," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (1/10).
Ali mengatakan, Iwan Ismail memotret bendera mirip HTI yang berada di meja salah satu pegawai. Pihak KPK pun sudah memeriksa pegawai yang duduk di sekitar bendera HTI itu. Alhasil terungkap bahwa bendera itu bukan bendera HTI. Pegawai yang dituduh Iwan mengibarkan bendera HTI di KPK tidak terbukti terafiliasi dengan kelompok itu.
"Tim langsung melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi, bukti, dan keterangan lain yang mendukung. Hal tersebut kemudian menimbulkan kebencian dari masyarakat yang berdampak menurunkan citra dan nama baik KPK," ujar Ali.
Ali mengatakan, kejadian itu terjadi pada September 2019. Iwan juga sempat diperiksa terkait perbuatannya itu. Saat diperiksa, Iwan mengamini telah menyebarkan kabar tentang bendera itu ke pihak luar KPK. Iwan saat itu menyebut ada bendera HTI di salah satu meja pegawai tanpa klarifikasi.
Menurut Ali, tindakan Iwan masuk dalam kategori berat yang sudah diatur dalam Pasal 8 huruf s Perkom Nomor 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai dan Penasihat KPK.
Tindakan Iwan juga melanggar kode etik KPK yang diatur dalam Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 07 Tahun 2013 tentang Nilai-nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK. Ali menyatakan tindakan Iwan tidak bisa ditolerir.
"Yang bersangkutan melanggar nilai Integritas, untuk memiliki komitmen dan loyalitas kepada komisi serta mengenyampingkan kepentingan pribadi atau golongan dalam pelaksanaan tugas, melaporkan ke atasan, direktorat pengawasan Internal, dan atau melalui whistle blowing apabila mengetahui adanya dugaan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan Komisi, tidak melakukan tindakan yang dapat mencemarkan nama baik komisi," tutur Ali.
Dalam pemeriksaan, Iwan juga disebut melanggar nilai profesionalisme. Menurut Ali, semua pegawai KPK harus menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan harmonis.
"Serta pelanggaran terhadap nilai Kepemimpinan, untuk saling menghormati dan menghargai sesama insan komisi, serta menunjukkan keteladanan dalam tindakan dan perilaku sehari-hari," ujar Ali. [rin]