WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pengamat politik Pieter C. Zulkifli menilai bahwa seruan sejumlah purnawirawan TNI untuk mendesak pelengseran Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden RI merupakan drama politik yang tidak perlu dipertontonkan.
Menurut Pieter, tuduhan adanya pelanggaran administratif yang dijadikan dasar untuk menuntut pencopotan Gibran lebih tampak bermuatan politis ketimbang yuridis.
Baca Juga:
Pilkada Jakarta 2024, Pengamat: PDI-P dan Anies Baswedan Hadapi Risiko Politik Bunuh Diri
"Di saat negeri ini membutuhkan ketenangan dan arah yang jelas, justru mereka yang seharusnya menjadi sosok panutan memilih menabuh genderang kegaduhan," kata Pieter Zulkifli, melansir Tribunnews, Minggu (27/4/2025).
Kegaduhan Politik
Mantan Ketua Komisi III DPR RI tersebut menyatakan keheranannya atas situasi politik yang justru memperkeruh ruang publik, alih-alih membawa pencerahan yang dibutuhkan masyarakat.
Baca Juga:
Momentum Pilkada, Pengamat Politik Harap KPU Aktif Sosialisasi Nyata
Terlebih lagi, Pieter menyoroti bahwa para purnawirawan TNI yang idealnya menjadi teladan ketenangan malah ikut memperbesar kegaduhan politik dengan mendorong pemecatan Gibran.
"Dalih yang digunakan pun tampak dipaksakan, yakni pelanggaran administratif dalam proses pencalonan," ujarnya.
Pieter menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara etika, hukum, dan nalar politik dalam menyikapi dinamika nasional.
"Kita justru patut bertanya, untuk siapa sebenarnya tuntutan ini diajukan?" ucapnya penuh tanda tanya.
Tuntutan Purnawirawan
Forum Purnawirawan Prajurit TNI secara terbuka mengajukan tuntutan kepada Presiden agar segera mengganti Gibran Rakabuming Raka dari posisinya sebagai Wakil Presiden.
Pernyataan sikap tersebut ditandatangani oleh 103 purnawirawan jenderal, 73 purnawirawan laksamana, 65 purnawirawan marsekal, serta 91 purnawirawan kolonel.
Mereka mendalilkan adanya pelanggaran hukum dalam proses pencalonan Gibran sebagai alasan utama tuntutan tersebut.
Beberapa nama besar yang ikut menandatangani tuntutan ini antara lain Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno (mantan Wakil Presiden RI), Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi (mantan Menteri Agama), Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto (mantan KSAD), Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto (mantan KSAL), dan Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan (mantan KSAU).
Forum ini mengklaim mewakili ratusan purnawirawan dari berbagai tingkat, dari jenderal hingga kolonel.
Kekhawatiran Manipulasi Politik
Pieter mempertanyakan apakah gerakan tersebut semata-mata didasari kegelisahan moral atau justru merupakan bagian dari skenario politik tertentu.
"Ketika tokoh-tokoh yang pernah menduduki posisi strategis dalam pertahanan negara ikut mendorong narasi penggantian wapres yang telah dipilih melalui mekanisme konstitusional, publik akan bertanya, apakah ini murni kegelisahan moral, atau ada arus bawah tanah politik yang sedang bergerak?" katanya.
Ia juga menyoroti bahwa institusi TNI sendiri telah secara tegas menetapkan garis netralitas dalam politik praktis, sehingga keterlibatan para purnawirawan bisa mengaburkan persepsi publik.
"Publik bisa menilai ini bukan hanya soal hukum, tapi juga manuver politik. Dan celakanya, manuver semacam ini hanya menambah runyam suhu demokrasi yang sedang rapuh," tambahnya.
Pentingnya Kedewasaan Demokrasi
Pieter mengingatkan bahwa gugatan terhadap Gibran bukan hanya menyasar pribadi, tetapi juga berpotensi menggoyahkan keabsahan pemilu secara keseluruhan.
"Meskipun kita bisa memperdebatkan kualitas moral atau etik suatu keputusan, namun dalam tatanan negara hukum, putusan MK adalah final dan mengikat," ujarnya menegaskan.
Menurut Pieter, dalam demokrasi, kedewasaan dalam menerima hasil yang mungkin terasa pahit adalah keniscayaan.
"Apabila setiap ketidakpuasan direspons dengan seruan pemecatan atau delegitimasi, maka kita sedang menggali lubang bagi kehancuran sistem itu sendiri," tegasnya.
Ia menyatakan bahwa bangsa ini lebih membutuhkan ketenangan untuk memulai transisi pemerintahan yang efektif.
Fokus utama seharusnya diarahkan pada upaya menjawab tantangan ekonomi, ketimpangan sosial, dan perubahan geopolitik.
"Kritik tetap penting. Bahkan harus. Namun, kritik yang membangun bukan yang menyeret institusi ke tengah badai, apalagi menggiring publik pada ilusi bahwa semua hasil demokrasi bisa dibatalkan hanya karena tidak sesuai dengan harapan sebagian pihak," pungkasnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]