WahanaNews.co, Jakarta - Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, menyatakan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tidak ada istilah kecurangan.
"Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tidak mengakui istilah kecurangan, namun yang ada adalah pelanggaran. Pelanggaran apa yang terjadi? Ada pelanggaran administrasi dan pelanggaran tindak pidana," ujar Bagja di Gedung Bawaslu RI, Jakarta, melansir Antara, Kamis (14/3/2024).
Baca Juga:
Usai Viral Serahkan Uang Rp 15 Juta untuk PCNU Sikka, Paket JOSS Dilaporkan ke Bawaslu
Bagja juga menjelaskan bahwa sampai saat ini, belum ada pelanggaran yang cukup serius untuk membatalkan hasil Pemilu 2024.
"Namun, apakah kemudian bisa membatalkan hasil pemilu? Ya pada titik ini tidak ada temuan Bawaslu yang menyatakan bisa, kemudian diambil kesimpulan demikian," ujarnya.
Walaupun demikian, Bagja mengatakan masih menunggu hasil pengawasan dan temuan-temuan di lapangan lainnya.
Baca Juga:
Rapat Koordinasi Pelaksanaan Pemungutan dan Perhitungan Suara Susulan Pilkada Tahun 2024
"Namun, pada titik ini apakah itu memengaruhi hasil? Kan ada namanya pelanggaran administrasi TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) di Badan Pengawas Pemilihan Umum. Nah, ada beberapa kriteria yang kumulatif harus dipenuhi prasyaratnya dan satunya adalah memengaruhi hasil, misalnya," tuturnya.
Kemudian, lanjut Bagja, akan diadakan pembuktian dan Bawaslu juga menerima keberatan. Ia juga mengatakan bahwa lembaganya menerima permohonan untuk pengaduan mengenai hal tersebut.
"Kami dalam undang-undang, dalam peraturan perundang-undangan, ada pintu-pintu demikian yang ada," kata Bagja.
Hak Angket
Rahmat Bagja mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa mengomentari penggunaan hak angket oleh DPR RI untuk merespons dugaan kecurangan Pemilu 2024.
"Untuk hak angket, Bawaslu tidak bisa mengomentari hal apa pun tentang hal tersebut," katanya.
Bagja menjelaskan hak angket merupakan hak DPR RI yang tercantum dalam Pasal 20A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebut DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Sementara itu, dia mengatakan bahwa fokus Bawaslu adalah terhadap penanganan pelanggaran dan pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu.
"Tidak ada mekanisme kepemililuan tentang hak angket. Dalam undang-undang juga nggak ada. Itu kan dalam mekanisme di DPR, hak DPR termasuk kewenangan DPR untuk melakukan kontemplasi, angket, dan lain-lain" tuturnya.
Diketahui, Pemilu 2024 meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota dengan daftar pemilih tetap (DPT) tingkat nasional sebanyak 204.807.222 pemilih.
Pemilu 2024 diikuti 18 partai politik nasional yakni (sesuai dengan nomor urut) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Buruh, dan Partai Gelora Indonesia.
Berikutnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Hanura, Partai Garuda, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Demokrat, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Perindo, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Ummat.
Selain itu, terdapat enam partai politik lokal sebagai peserta yakni Partai Nanggroe Aceh, Partai Generasi Atjeh Beusaboh Tha'at dan Taqwa, Partai Darul Aceh, Partai Aceh, Partai Adil Sejahtera Aceh, dan Partai Soliditas Independen Rakyat Aceh.
Seturut Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022, rekapitulasi suara nasional Pemilu 2024 dijadwalkan berlangsung mulai 15 Februari sampai dengan 20 Maret 2024.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]