WahanaNews.co | Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD
mengatakan bahwa amandemen UUD adalah kewenangan MPR dan pamerintah harus menghormati kewenangan tersebut.
"Resminya pemerintahtidak bisa mengatakan setuju perubahan atau tidak setuju perubahan.
Pemerintah dalam hal ini hanya akan menyediakan lapangan politiknya. Adapun
substansi mau mengubah atau tidak itu adalah keputusan politik, lembaga politik
yang berwenang," ujar Mahfud.
Baca Juga:
Dalam Sesi Doa, MUI Harap Presiden Prabowo Bangun Demokrasi dan Berantas Korupsi
Demikian disampaikan Menko Polhukam dalam keynote speech di
acara Diskusi Konstitusi yang diselenggarakan oleh Integrity Lawfirm, yang
mengambil tema "Urgensi Amandemen Konstitusi di tengah Pandemi: Untuk
Kepentingan Siapa?" yang berlangsung secara daring pada Kamis (26/8/2021).
Pembicara pada diskusi ini antara lain: Wakil Ketua MPR,
Arsul Sani, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Senior Partner Integrity Law Firm,
Denny Indrayana, Ketua PSIK Indonesia, Yudi Latief dan Akademisi STHI Jentera,
Bivitri Susanti.
Mantan Ketua MK itu memaparkan, bahwa perubahan konstitusi
merupakan wewenang dari MPR yang mewakili seluruh rakyat, yang kaki-kaki
kelembagaannya ada di DPR, Partai politik, DPD, dan lain-lain.
Baca Juga:
Aktivis Hukum: Amandemen UUD Bukan Sesuatu yang Haram
Sehingga berbagai kekuatan atau aspirasi di dalam masyarakat
tentunya disalurkan disalurkan ke dalam kaki-kaki kelembagaan yang disediakan
oleh konstitusi itu.
Menurut Mahfud, adapun pemerintah tidak ikut campur.
Pemerintah tidak menyatakan setuju atau tidak setuju, karena sebenarnya
perubahan itu tidak perlu persetujuan pemerintah.
Namun Guru Besar Hukum Tata Negara ini menggaris bawahi,
karena konstitusi itu adalah produk resultante
politik, maka di dalam sepanjang sejarah Indonesia tidak ada, hampir
tidak ada, sebuah produk konstitusi itu yang selalu dianggap bagus. Begitu
dilahirkan langsung dikiritk bahwa ini salah.
"Konstitusi itu resultante,
produk kesepakatan berdasar situasi sosial politik ekonomi dan budaya
pada saat di buat. Saya kira itu bukan wewenang pemerintah. Tetapi akademisi
boleh membahas itu, baik dan buruknya, tidak dilarang," ujar Mahfud. [rin]