WahanaNews.co | Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Yenti Ganarsih menyarankan agar tim kuasa hukum terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Richard Eliezer (Bharada E), lebih optimal lagi dalam menyampaikan nota pembelaan (pleidoi) dan duplik.
"Kalau menurut saya sebaiknya tim kuasa hukum E (Eliezer) memaksimalkan kesempatan pembelaan lewat nota pembelaan atau pleidoi ya, dan duplik. Karena ini kesempatan mereka untuk membuktikan posisi E dalam perkara pidananya," kata Yenti, melansir Kompas.com, Jumat (20/1/2023).
Baca Juga:
JPU KPK Ungkap Nilai Proyek Rp3,1 Triliun di Kalimantan Selatan Tahun 2022
Yenti berharap tim kuasa hukum Richard bisa menyusun nota pembelaan sebaik-baiknya demi klien mereka.
"Kalau mau libatkan saja para pakar untuk menyusun pleidoi. Karena kondisinya kan seperti ini ya. Kita tidak menyangka dia akan dituntut 12 tahun," ucap Yenti.
Yenti juga mengkritik tuntutan 12 tahun penjara dari jaksa penuntut umum kepada Richard. Sebab menurut analisisnya dari konstruksi kasus itu dan fakta hukum dalam persidangan, Richard bukan pelaku utama seperti alasan yang disampaikan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Baca Juga:
Hakim Tinggi Ponianak Vonis Bebas WN China Pengeruk Emas 774 Kg, Jaksa Ajukan Kasasi
"E itu bukan pelaku utama. Pelaku utamanya ya yang memerintahkan dia untuk menembak Yosua," ujar Yenti.
"E itu kan walaupun pangkatnya paling rendah, sebenarnya dia tahu perintah FS (Ferdy Sambo) itu salah dan bisa mengakibatkan kematian. Cuma saat itu dia dalam posisi tidak punya pilihan lain. Tidak bisa membantah perintah atasannya. Dalam keadaan tertekan. Tidak seperti Ricky Rizal. Dia bisa menolak karena Ricky pangkatnya lebih tinggi," papar Yenti, melansir Kompas.co.
Menurut pemberitaan sebelumnya, jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan menuntut Richard selama 12 tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Rabu (18/1/2023).
Sebelumnya, Richard dinilai jaksa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua.
Menurut jaksa, pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua dilakukan bersama-sama empat terdakwa lain yakni, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal atau Bripka RR, dan Kuat Ma’ruf.
Dalam kasus ini, Ferdy Sambo telah dituntut pidana penjara seumur hidup. Sementara itu, Kuat Ma'ruf, Bripka Ricky Rizal, dan Putri Candrawathi dituntut penjara masing-masing selama 8 tahun.
Jaksa menganggap kelima terdakwa terbukti melanggar dakwaan primer yakni Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Selain itu, Ferdy Sambo juga dianggap terbukti melanggar dakwaan kedua pertama primer yakni Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam kasus itu, LPSK mengabulkan permohonan perlindungan terhadap Richard. Mereka juga mengajukan status saksi pelaku atau JC untuk Richard.
Akan tetapi, tuntutan 12 tahun penjara kepada Richard menuai polemik.
LPSK menyayangkan tuntutan jaksa terhadap Eliizer yang lebih berat dibandingkan dengan terdakwa lainnya yang juga istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.
Padahal LPSK sangat berharap tuntutan terhadap Richard bisa diringankan mengingat berkat pengakuannya maka skenario di balik kasus itu bisa terungkap.
"Kami berharap begitu (diringankan). Jadi, sejak kami memutuskan untuk memberikan perlindungan kepada Bharada E sebagai JC, kita kemudian melakukan upaya untuk bisa memenuhi tiga hal yang menjadi hak JC yakni pengamanan, perlindungan, pengawalan itu dilakukan oleh LPSK dan itu kita laksanakan sampai sekarang," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (16/1/2023) lalu.
Menanggapi berbagai kritik atas tuntutan terhadap Richard, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung Fadil Zumhana meminta LPSK tidak melakukan intervensi proses penegakan hukum yang dilakukan jaksa.
"LPSK enggak pernah puas. Ya enggak apa-apa. Makanya saya bilang lembaga lain tidak boleh mengintervensi kewenangan Jaksa Agung. Kan masih ada upaya hukum. Masih ada pembelaan segala macam," ucap Fadil dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Kamis (19/1/2023). [rna]