WahanaNews.co, Jakarta - Suara dua Hakim Konstitusi, Arief Hidayat dan Guntur Hamzah, terdengar bergetar saat membacakan putusan uji materi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh lima orang ibu.
Para ibu tersebut menggugat pasal 330 ayat 1 KUHP setelah anak-anak mereka diculik oleh mantan suami.
Baca Juga:
Soal Upah Minimum Sektoral, Presiden Prabowo Arahkan Perumusan Pasca Putusan MK
Dalam permohonannya, mereka mempersoalkan frasa "Barangsiapa" dalam pasal tersebut, yang berbunyi: Barangsiapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Mereka meminta agar frasa "Barangsiapa" dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar jika tidak dimaknai sebagai "Setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak."
Namun, dalam putusan akhir, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan para ibu tersebut. Meskipun begitu, dalam pembacaan pertimbangan, Hakim Arief Hidayat terlihat emosional hingga suaranya bergetar.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
MK menilai bahwa frasa "Barangsiapa" dalam pasal 330 ayat 1 KUHP sudah mencakup setiap orang, termasuk ayah dan ibu kandung dari anak yang diculik.
Ket foto: Hakim Konstitusi Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah (kiri) dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh (kanan) memimpin jalannya sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (8/11/2023). [WahanaNews.co/Dok ANTARA FOTO: M Risyal Hidayat]
"Dengan demikian, berkenaan dengan perbuatan yang dilarang berkaitan dengan penguasaan anak secara paksa sekalipun belum terjadi perceraian telah tersedia mekanisme hukum yang cukup memadai, tidak hanya dalam rangka melindungi anak, akan tetapi juga orang tua," kata Arief.
Arief kemudian membacakan, ada hubungan baik psikis maupun psikologis antara orang tua dan anak kandung yang seharusnya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Suaranya kemudian bergetar menyebut upaya pidana kepada salah satu orangtua adalah jalan terakhir, dia berharap agar keadilan restorative menjadi pilihan yang lebih baik.
"Jikalau hal demikian menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, maka kepentingan anak yang paling diutamakan, dan pilihan untuk memidanakan salah atu orangtua kandung anak yang melanggar ketentuan Pasal 330 ayat 1 KUHP adalah pilihan terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remidium). Terlebih dalam pardigma penyelesaian tindak idana saat ini, hal-hal demikian dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice," ujar Arief.
Hakim Konstitusi Guntur Hamzah juga terlihat emosional ketika membacakan pendapat berbedanya yang menilai harusnya MK mengabulkan permohonan para ibu-ibu itu sebagian.
Dia menyebut, anak-anak membutuhkan sosok ibunya saat masih usia dini. Guntur Hamzah merasa nelangsa ketika membaca permohonan para ibu yang terpaksa berpisah dengan anaknya karena rebutan hak asuh anak.
Suaranya tersendat membacakan pendapatnya dan terdengar bergetar.
"Lebih sedih lagi, dalam perkara a quo Mahkamah tidak seperti biasanya melakukan terobosan hukum," ucapnya.
[Redaktur: Andri Frestana]