WahanaNews.co | Komisi Yudisial (KY) menerima 385 laporan masyarakat dan 179 surat tembusan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) pada triwulan pertama tahun 2022.
Dibandingkan triwulan pertama tahun 2021, jumlah laporan masyarakat relatif sama dengan tahun lalu berjumlah 378 laporan.
Baca Juga:
Kasus Vina-Eki Cirebon: Kesimpulan Komnas HAM Simpulkan 3 Pelanggaran Polisi
"Sejak pandemi Covid-19 tren laporan masyarakat mulai banyak yang menyampaikan secara online, yaitu 70 laporan. Meski dominasi melalui jasa pengiriman surat sebanyak 191 laporan dan datang secara langsung 119 laporan, dan 5 laporan sisanya berupa informasi atas dugaan pelanggaran perilaku hakim," buka Ketua Bidang Pengawasan Hakim KY Joko Sasmito dalam konferensi pers daring Bidang Pengawasan Hakim Triwulan Pertama Tahun 2022, Rabu (20/04/2022).
Menurut Joko, antusiasme publik ini membuktikan peran aktif publik dalam menjaga integritas hakim, sehingga peradilan bersih dan berwibawa dapat terwujud.
Joko Sasmito lebih lanjut merinci laporan masyarakat berdasarkan jenis perkara yang didominasi masalah perdata.
Baca Juga:
Atnike Nova Sigiro: Foto Jurnalistik Bantu Upaya Penyelidikan Dugaan Pelanggaran HAM
"Dilihat dari jenis perkaranya, masalah perdata masih mendominasi, yaitu 182 laporan. Untuk perkara pidana jumlahnya 93 laporan," jelas Joko.
Sementara itu, lanjut Joko, pengaduan terkait tata usaha negara ada 26 laporan, perkara agama ada 25 laporan, tipikor ada 13 laporan, niaga ada 13 laporan.
Selanjutnya, perselisihan hubungan industrial ada 12 laporan, lingkungan ada 5 laporan, militer ada 4 laporan, dan 12 laporan lainnya.
Joko menguraikan 10 provinsi terbanyak dalam penyampaian laporan dugaan pelanggaran KEPPH yang masih didominasi kota-kota besar di Indonesia.
Menurutnya, dari tahun ke tahun relatif tidak banyak perubahan. Paling banyak adalah DKI Jakarta 78 laporan, Jawa Timur 48 laporan, Sumatera Utara 39 laporan, Jawa Tengah 27 laporan, Jawa Barat 26 laporan, Riau 16 laporan, Sumatera Selatan 14 laporan, Sulawesi Selatan dan Banten masing-masing 13 laporan, Jambi 12 laporan, dan Kalimantan Timur 10 laporan.
Adapun dilihat dari jenis peradilan yang dilaporkan, masih didominasi oleh peradilan umum, yakni 241 laporan. Posisi selanjutnya, yakni peradilan agama 39 laporan, Mahkamah Agung 38 laporan, Tata Usaha Negara sejumlah 26 laporan, Niaga 13 laporan, Tipikor 7 laporan, Hubungan Industrial 6 laporan, Militer 5 laporan, dan 10 laporan lainnya.
Tidak semua laporan dapat dilakukan proses sidang pemeriksaan panel atau pleno, karena laporan yang masuk perlu diverifikasi kelengkapan persyaratan (telah memenuhi syarat administrasi dan substansi) untuk dapat diregistrasi.
"Dari yang telah diverifikasi sejumlah 359 laporan dengan presentase 93,24% dari laporan yang diterima, KY menyatakan laporan yang memenuhi persyaratan untuk diregistrasi sebanyak 68 laporan. Yaitu berasal dari laporan tahun 2021 sebanyak 48, dan tahun 2022 sebanyak 20," lanjut Joko.
Sementara lainnya, ada 123 laporan masih menunggu permohonan kelengkapan, 10 laporan bukan kewenangan KY, 36 laporan diteruskan ke instansi lain, dan laporan tidak dapat diterima ada 56 laporan. Ada juga laporan yang diteruskan ke bagian investigasi 6 laporan, serta masih proses verifikasi 26 laporan. Yang terbanyak kedua adalah permohonan pemantauan, yaitu 108 laporan.
Selanjutnya, untuk laporan akan dilakukan analisis secara mendalam sebanyak 74 laporan. Pemantauan Persidangan KEPPHJoko juga mengungkapkan bahwa periode periode 3 Januari hingga 31 Maret 2022, KY telah menerima 108 permohonan pemantauan yang berasal dari 84 laporan masyarakat dan 24 pemantauan berdasarkan inisiatif KY.
"Pemantauan persidangan adalah langkah pencegahan agar hakim tetap bersikap independen dan imparsial dalam memutus, tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Hasil dari tindak lanjut permohonan pemantauan periode Januari hingga Maret 2022 adalah 54 dapat dilakukan pemantauan, 20 tidak dapat dilakukan pemantauan, dan 34 dalam tahap analisis," jelas Joko.
Ada beberapa sebab permohonan tidak dapat dilakukan pemantauan. Ada yang bukan merupakan kewenangan KY, kemudian adapula perkara yang dimohonkan ternyata sudah diputus, dan tidak ada dugaan awal pelanggaran kode etik pedoman perilaku hakim. [rin]