WahanaNews.co | Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menjelaskan, kepentingan politik dapat mengubah semua regulasi hingga konstitusi secara cepat.
Banyak contoh yang masih melekat di ingatan publik, seperti terbaru revisi UU KPK yang superkilat.
Baca Juga:
Wakil Ketua Umum PAN Tolak Wacana Pemilihan Presiden Tidak Langsung
"Belajar dari beberapa wacana, semua bisa terjadi seperti revisi UU KPK yang superkilat. Jadi masyarakat trauma. Kalau ada proses yang ditumpangi kepentingan politik akan menjadi sangat cepat prosesnya," ujarnya, pada diskusi virtual bertajuk Amendemen UUD 1945 untuk Apa, Sabtu (11/9/2021).
Pada kesempatan itu, hadir Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rahman; Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid; dan Anggota Komite I DPD, Abdul Rachman Thaha.
Zainal mengaku tidak bisa memercayai sikap partai politik saat ini yang terkesan menolak amendemen konstitusi.
Baca Juga:
Amien Rais Setuju UUD Diamendemen Lagi, Presiden Dipilih oleh MPR
Sebab, sikap partai politik dapat berubah 180 derajat ketika ditumpangi kepentingan.
Terlebih, kata dia, Ketua MPR, Bambang Soesatyo, dua kali dalam waktu singkat menebar wacana amendemen yang dibungkus PPHN dalam sidang tahunan MPR dan peringatan Hari Konstitusi.
"Kalau Ketua MPR sudah mengungkap isu itu, masyarakat sulit tidak percaya UUD 1945 tidak diamendemen. Kalau benar tidak ada kesepakatan di tingkat pimpinan MPR, mengapa tidak ada yang mengoreksi dari pidato Ketua MPR untuk mengingatkannya?" paparnya.
Ia mengatakan, politisi saat ini paling berani mengungkap usulan PPHN dimasukan ke UUD 1945.
Padahal jelas, kata dia, upaya itu memiliki dampak turunan yang banyak, seperti menambah kewenangan MPR, DPR, dan DPD.
"Yang lain lagi tentu akan mendorong hadirnya sanksi ketika PPHN dilanggar dan bisa jadi berujung pada kewenangan memecat kepala negara. Jadi turunan memasukkan PPHN menjadi kompleks yang berujung pada perubahan presidensial kembali ke era kewenangan dulu," pungkasnya. [dhn]