WahanaNews.co | Peneliti
Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina, menyebut, ada
sejumlah persoalan yang muncul dari praktik Pilkada langsung,
salah satunya korupsi kepala daerah.
Namun demikian, hal itu tidak serta merta
menjadikan Pilkada tidak langsung sebagai solusi. Sebab, korupsi kepala
daerah tak akan hilang begitu saja hanya dengan mengubah sistem pemilihan.
Baca Juga:
Pemilihan di Daerah Mundur ke 2031, Ini Putusan Mengejutkan MK soal Pilkada dan DPRD
"Soal Pilkada langsung
atau tidak langsung yang banyak menjadi perdebatan sekarang, termasuk soal
karena penyebabnya adalah korupsi kepala daerah, Pilkada tidak
langsung tidak cukup menjadi solusi," kata Almas, dalam sebuah
diskusi virtual, Kamis (15/10/2020).
Menurut Almas, untuk melihat persoalan ini,
harus diketahui bahwa maraknya kasus korupsi kepala daerah tidak hanya
disebabkan oleh biaya politik yang tinggi akibat jual beli suara.
Biaya politik menjadi tinggi juga akibat
kebutuhan dana kampanye, hingga mahar politik yang umumnya digunakan partai
politik sebagai syarat mengusung calon.
Baca Juga:
UU Pemilu dan Pilkada Diubah, MK Pisahkan Jadwal Pemilu Pusat dan Daerah
Ketika muncul wacana Pilkada tak
langsung, lanjut Almas, persoalan yang ada di DPRD juga harus dipertimbangkan.
Almas mengingatkan bahwa kasus korupsi masih
banyak terjadi di kalangan anggota DPRD.
Catatan ICW menyebutkan, dari tahun 2010 hingga
2019, sedikitnya 586 anggota DPR dan DPD ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Bahkan, pada tahun 2018, ada 127 anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus
korupsi.
Kasus korupsi di tingkat DPRD juga kerap kali
melibatkan peran kepala daerah, misalnya dalam hal pembahasan anggaran, laporan
pertanggungjawaban anggaran, perubahan anggaran, dan lainnya.
"Jadi, fenomena
korupsi di daerah ini kita harus melihatnya dari kacamata yang luas. Tidak hanya problem di kepala daerah, tapi juga di
DPRD," ujar dia.
Oleh karenanya, lanjut Almas, harus dilakukan
pembenahan atas persoalan-persoalan ini. Mengubah sistem pemilihan tanpa
pembenahan yang komprehensif, kata dia, hanya akan memindahkan persoalan.
"Kami yakin, apabila Pilkada-nya
menjadi tidak langsung, problemnya juga akan tetap sama, hanya
melempar bandul saja," ujar Almas. "Jadi, kenapa kemudian
titik keluarnya atau jalan keluarnya adalah mencabut hak publik, hak masyarakat
untuk memilih langsung kepala daerahnya?" lanjut dia. [dhn]