WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali mengguncang jagat penegakan hukum dengan menyita uang senilai Rp11,8 triliun dari kasus mega korupsi ekspor minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) periode 2021–2022.
Angka fantastis ini mencuat usai pengembalian kerugian negara yang dilakukan oleh korporasi raksasa Wilmar Group.
Baca Juga:
Afulu Pro 2025 di Tengah Prahara Skandal Korupsi DED Kawasan Wisata di Nias Utara
Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Sutikno, menyampaikan bahwa penyitaan tersebut dilakukan setelah lima anak perusahaan Wilmar menyerahkan uang kepada negara.
Kelima anak perusahaan tersebut adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
“Penyitaan uang hasil tindak pidana korupsi pemberian fasilitas CPO dan turunannya dari para terdakwa korporasi Wilmar Group sebesar Rp11.880.351.802.619,” ujar Sutikno dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa (17/6/2025).
Baca Juga:
Amizaro Waruwu Bungkam Ditanya soal Skandal Korupsi DED Kawasan Wisata di Nias Utara
Langkah ini merupakan tindak lanjut atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus besar yang menyeret tiga konglomerat sawit, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Mereka didakwa terlibat dalam praktik curang persetujuan ekspor CPO yang menjadi sorotan nasional.
Kasus korupsi ini sebelumnya merupakan pengembangan dari perkara korupsi minyak goreng dengan lima terdakwa.
Dalam proses peradilan, majelis hakim menilai bahwa tindakan para pelaku tidak hanya merugikan keuangan negara sebesar Rp6 triliun, tetapi juga mengacaukan perekonomian nasional hingga Rp12,3 triliun.
Meski begitu, kasus ini menuai kontroversi setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat memvonis lepas para korporasi, termasuk Wilmar Group.
Fakta mengejutkan terkuak bahwa vonis tersebut diduga kuat terjadi akibat upaya suap kepada tiga hakim yang memutus perkara.
Khusus untuk Wilmar Group, dalam tuntutan sebelumnya jaksa meminta agar perusahaan membayar uang pengganti sebesar Rp11,8 triliun.
Kini, meski uang tersebut telah diserahkan, Kejaksaan Agung tetap mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk membatalkan vonis lepas yang telah dijatuhkan.
Langkah Kejagung ini menjadi penanda bahwa penegakan hukum terhadap korupsi korporasi besar tidak akan berhenti meski putusan pengadilan tak berpihak pada keadilan.
Semua mata kini tertuju pada Mahkamah Agung yang akan menentukan nasib akhir dari skandal yang mengguncang industri sawit nasional ini.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]