WahanaNews.co | Ketika Gunung Merapi memperlihatkan
peningkatan aktivitas di awal November lalu, perhatian publik tak hanya tertuju
pada badan pemerintah yang menangani kebencanaan geologi, tapi juga pada
seorang pria bernama Asihono.
Dialah
juru kunci Gunung Merapi, pengganti mendiang Mbah Maridjan.
Baca Juga:
Terancam Dipecat, ASN di Kebumen Terlibat Skandal Cinta Terlarang hingga Melahirkan
Pada
suatu pagi, di akhir November, Mbah Asih, begitu dia kini disapa, sedang
duduk-duduk di beranda bersama ibu, istri, dan dua anaknya saat ia berkata,
"Status Merapi sudah naik menjadi siaga."
Rumah
Asih terletak di lereng Merapi, yakni di Karang Kendal, Umbulharjo,
Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, delapan kilometer dari puncak
Gunung Merapi.
Sebagai
juru kunci, informasi status Merapi itu tak hanya dia kabarkan kepada
keluarganya.
Baca Juga:
Dear Traveler, di Jepara Ada Lho Wisata Bernuansa Kampung Bali
Dia
juga bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi tersebut kepada masyarakat, termasuk
mengimbau supaya mereka berhati-hati dalam menjalankan kegiatan.
"Kami
sebagai juru kunci mengajak masyarakat meningkatkan kewaspadaaan," ujar
lelaki yang sekarang memiliki gelar Mas Kliwon Surakso Hargo itu.
Pengganti
Mbah Maridjan
Asih
adalah anak keempat dari enam bersaudara, buah
pernikahan pasangan
Mbah Mardijan dan Mbah Ponirah.
Sultan Hamengkubuwono
X mengangkatnya menjadi Juru Kunci Merapi pada 4 April 2011, menggantikan
ayahnya, mendiang Mbah Maridjan, yang meninggal saat terjadi erupsi Merapi pada
Oktober 2010.
Sebagai
juru kunci penerus Mbah Maridjan, lelaki berusia 54 tahun itu berkewajiban
melaksanakan tugas dari Keraton Yogyakarta untuk melakukan Labuhan Merapi
setahun sekali.
Bagi
Asih, Labuhan Merapi yang diadakan setiap Bulan Rajab dalam penanggalan Jawa,
adalah acara spiritual dari Keraton Yogyakarta yang merupakan ungkapan rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan rejeki dan nikmat
kehidupan kepada masyarakat, khususnya di sekitar Gunung Merapi.
Dalam
ritual itu, Juru Kunci Merapi berperan memimpin doa.
"Bersyukur
dan memohon keselamatan kepada Allah, agar warga Merapi mendapat keselamatan
dan rejeki yang banyak," ujar Asih, menjelaskan kepada wartawan.
Dan, di
pagi itu, Asih memberikan pengertian kepada keluarganya bahwa Merapi adalah
sahabat, karena ketika kondisi Merapi berstatus aman dan normal,
Merapi memberikan kesuburan tanah untuk bercocok tanam, memberikan rumput segar
untuk pakan ternak, dan memberikan pasir yang melimpah yang bisa dimanfaatkan
untuk pembangunan.
"Makanya
kita harus selalu menjaga alam dan jangan sampai merusak, tidak boleh menebang
kayu seenaknya, merusak pepohonan, tapi kita harus memelihara," kata Asih
kepada keluarganya, yang meriung di teras rumah.
Aktivitas
Merapi
Dalam
menjalankan tugasnya, Asih tetap berkoordinasi dengan Balai Penyelidikan dan
Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), yang mendeteksi aktivitas
Gunung Merapi menggunakan beragam teknologi.
Menurut
Kepala BPPTKG, Hanik Humaida, peralatan BPPTKG untuk melakukan pemantauan
Gunung Merapi sangat lengkap seperti Seismometer untuk mendeteksi kegempaan
atau getaran, dan Global Positioning System (GPS) serta Electronic Distance
Measurement (EDM) untuk mengukur deformasi atau penggembungan pada badan Gunung
Merapi.
Menurut
Hanik, tim informasi BPPTKG terus memberikan informasi dan sosialiasi kepada
masyarakat serta telah berkoordinasi kepada instansi terkait, seperti ke Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
BPPTKG
merekomendasikan untuk mengosongkan kawasan yang berada di dalam radius lima
kilometer dari puncak Merapi masuk kawasan yang berbahaya.
Sementara
BPBD dan sejumlah warga sekitar terus melakukan pengamatan di sejumlah tempat.
Mereka
juga menjaga dan menutup akses jalan ke lokasi-lokasi wisata yang berada di
daerah rawan seperti lokasi wisata Klangon Kalitengah Lor yang jaraknya hanya
sekitar tiga kilometer dari puncak Merapi.
Menurut
Kepala BPPTKG, Hanik Humaida, lembaganya selalu memperbarui data dan
informasi yang kemudian disampaikan kepada masyarakat melalui berbagai
fasilitas media sosial dan aplikasi agar mudah diakses.
"Masyarakat
agar mengikuti informasi dari kami dan imbauan pemerintah setempat. Tentunya
berita informasi yang resmi dari pemerintah," kata Hanik.
Juru Kunci
Merapi di Era Teknologi
Asih, sebagai
Juru Kunci Merapi, mengambil peran untuk menginformasikan kepada masyarakat
sekitar Merapi untuk lebih hati-hati dan waspada.
Dia
bergabung dan berbaur dengan masyarakat untuk berjaga dan selalu mengamati
kondisi Merapi.
"Kalau
ada sesuatu, kami ikut berperan menginformasikan kepada masyakat agar mereka
bisa segera tahu," katanya.
Hanik
pun mengaku berkoordinasi dengan Asih sebagai Juru Kunci Merapi untuk
menyampaikan informasi aktivitas terbaru Gunung Merapi.
Asih
juga pernah datang ke kantor BPPTKG untuk melihat aktivitas orang-orang di
BPPTKG dalam melakukan pemantauan Merapi.
"Saya
kira informasi dari BPPTKG diikuti Mas Asih, beliau juga mengikuti perkembangan
dari kami," kata Hanik.
Informasi
tentang aktivitas Merapi dari BPPTKG yang menggunakan teknologi modern itu
lebih populer di masyarakat generasi sekarang yang lebih karib dengan dunia
digital dan internet.
Beberapa
masyarakat generasi sekarang lebih mempercayai informasi dari lembaga seperti
BPPTKG karena berbasis data dan bisa dan menggunakan teknologi canggih.
Rustiningsih
Dian Puspitasari (20), seorang mahasiswi salah satu univeristas swasta di
Yogyakarta, mengaku lebih memilih informasi dari BPPTKG soal aktivitas Merapi
karena merupakan lembaga resmi pemerintah dan bisa dipercaya data-datanya.
"Kita
realistis saja. Lebih memilih informasi di berita atau lembaga yang sudah
menyediakan informasi itu karena mereka berbasis data," katanya.
Namun, ada
juga generasi muda yang menggabungkan kedua jenis informasi tersebut, Ismi
Nadiyatul Fatikah (21), misalnya.
Menurutnya,
dia akan melihat informasi dari lembaga seperti BPPTKG dan juga informasi dari
Juru Kunci Merapi, karena keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda.
"Kalau
saya dua-duanya harus dilihat, dari sudut pandang BPPTKG dan dari sudut pandang
pandang leluhur kita," kata Ismi yang masih kuliah di salah satu kampus
negeri di Yogyakarta.
Mayoritas
kaum muda yang mengedepankan teknologi pun sepakat bahwa keberadaan Juru Kunci
Merapi harus tetap dipertahankan sebagai pelestari yang menghidupkan kearifan
lokal warga Merapi dan penjaga tradisi.
"Menurut
saya pribadi masih penting, karena (Juru Kunci Merapi) salah satu warisan
budaya dan leluhur kita masih mempercayai adanya juru kunci di gunung tertentu,
jadi masih perlu," kata Ismi.
Meskipun
begitu, ada pula yang berkata tidak semua orang percaya pada hal-hal mistis dan
gaib yang lekat dengan predikat juru kunci.
"Lebih
penting ke data yang berbasis teknologi dari pada juru kunci yang mungkin bagi
orang basisnya mistis atau hal gaib. Kalau bicara secara keilmuan bisa
dibuktikan dengan bukti dan data serta ada alat untuk mengukur apakah statusnya
naik atau turun," kata Katarina Widhi Arneta Sari,
mahasiswi kampus swasta di Yogyakarta.
"Kalau
juru kunci ini kan kayak kita percaya
dan nggak percaya," imbuhnya.
Bagaimana
tanggapan Asih? Disamakan dengan paranormal atau dukun, Asih hanya tersenyum.
Tugas
Juru Kunci Merapi, bagi Asih sejatinya adalah sebagai pelestari kearifan lokal
warga lereng Merapi serta penjaga budaya tradisional dan kesenian.
"Mungkin
ada spiritualnya, seperti Labuhan. Tapi Juru Kunci bukan paranormal, bukan
dukun, dan juga bukan kiai," ujar Asih yang juga bekerja sebagai karyawan
administrasi di Fakultas MIPA Universitas Islam Indonesia (UII).
Penjaga
Pintu Merapi
Menurut
Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Heddy Shri Ahimsa
Putra, Juru Kunci Merapi berada dalam dua konteks: empirik dan non empirik.
Terlebih
bagi masyarakat Yogyakarta yang tidak bisa melepaskan kepercayaan adanya sumbu
imajiner dari Merapi, Tugu, Keraton, dan terus ke selatan sampai Laut Selatan.
"Jadi
Juru Kunci itu penjaga pintu masuk," katanya.
Melihat
posisi Keraton Yogyakarta yang berada di tengah-tengah Gunung Merapi dan Laut
Selatan, kata Heddy, maka perlu adanya penghubung yang disebut juru kunci.
Sebagai
penjaga pintu, lanjut Heddy, ketika terjadi sesuatu maka juru kunci bisa
memberi tahu.
Misalnya
kalau gunung akan meletus, juru kunci bisa memberi informasi dan orang di
sekitarnya bisa mengungsi.
"Jadi
bukan hanya kegaiban, tapi ada fungsi jelas, memberikan informasi kepada
masyarakat," kata Heddy.
Fungsi
Juru Kunci sebagai pemberi informasi mungkin bisa tergantikan dengan adanya
lembaga resmi pemerintahan yang menyajikan informasi tentang aktivitas Merapi,
seperti BPPTKG atau lembaga lain.
Namun,
menurut Guru Besar yang juga menjabat Ketua Senat Fakultas Ilmu Budaya UGM ini,
teknologi modern hanya menggantikan yang empirik, dan belum bisa menjangkau
sesuatu yang gaib.
Dan di
sinilah fungsi Juru Kunci Merapi tidak tergantikan. Dia masih diperlukan untuk
memimpin ritual Labuhan.
"Selama
masih ada Keraton, Labuhan tetap ada dan selama itu pula Juru Kunci Merapi
tetap ada," kata Heddy.
"Siapa
yang akan membimbing naik gunung, siapa yang akan menyelenggarakan Labuhan,
bukan BPPTKG, tapi Juru Kunci Merapi," katanya.
Sinergi
Juru Kunci dan Teknologi
Bagi
Hanik Humaida, peran juru kunci Merapi di saat situasi aktivitas Gunung Merapi
yang terus meningkat sangat penting, karena terkait dengan kearifan lokal warga sekitar Merapi.
Kolaborasi
di antara keduanya, sebut dia, bisa membuahkan hasil lebih baik.
"Kolaborasi
antara kearifan lokal dengan tekonolgi ini pasti memberikan hasil yang baik.
Dan saat ini saya kira local wisdom itu sudah berkoordinasi baik dengan
kami," kata Hanik.
Menurut
Heddy, kolaborasi ini juga bisa memberikan hasil yang maksimal dan
meminimalisir korban bencana.
"Sinergi
untuk mitigasi bencana itu bagus, tapi soal Labuhan itu (Juru Kunci Merapi)
tidak bisa tergantikan," kata Heddy. [dhn]