“Secara teori memang ada sepuluh jenis sampah, tapi secara praktik cukup dua dulu, yakni organik dan anorganik. Yang organik tidak akan kita angkut, harus habis di RW,” ungkapnya.
Farhan menambahkan, melalui sistem ini, sampah organik akan diolah langsung di tingkat kelurahan atau RW, baik menjadi kompos maupun pakan maggot, sementara sampah anorganik dapat disalurkan ke bank sampah untuk didaur ulang atau dijual kembali.
Baca Juga:
Diskominfo Bandung Tegaskan Media Mainstream Tetap Jadi Mitra Strategis di Era Banjir Informasi
“Pusat pengolahannya ada di kelurahan, agar sampah tidak menumpuk di TPS. Jadi setiap kelurahan juga wajib memiliki lahan pengolahan,” katanya.
Pemkot Bandung saat ini mencatat timbulan sampah harian mencapai sekitar 500 ton per hari.
Dari jumlah tersebut, sekitar 190 ton sudah berhasil dikelola langsung di tingkat wilayah, sedangkan sisanya masih dikirim ke TPA Sarimukti.
Baca Juga:
9.176 Guru Keagamaan Dapat Insentif, Pemkot Bandung Siapkan Anggaran Rp38 Miliar
“Dari data terakhir, volume sampah ke TPA sudah berkurang sekitar 300 ton. Tapi karena ada pengurangan kuota dari provinsi, maka tambahan 300 ton ini harus kita olah bersama di tingkat kota,” ungkap Farhan.
Meski begitu, Pemkot mengakui masih menghadapi tantangan besar, terutama resistensi masyarakat terhadap keberadaan lokasi pengolahan sampah di sekitar tempat tinggal mereka.
Faktor bau dan kenyamanan lingkungan menjadi isu yang kerap muncul.