Total proyeksi kerugian itu merupakan akumulasi dari konsumsi bahan bakar yang berlebih, kerugian waktu tempuh yang terkoreksi akibat macet, dampak polusi yang ditimbulkan akibat pembakaran BBM, dan lainnya.
"Rp100 triliun itu dihitung biaya waktu perjalanan, kemudian ada kerugian polusi udara yang menyebabkan kesehatan terganggu, dan dia sakit dan itu bisa dihitung, external cost itu akan dihitung, itu total kerugian semua polusi udara, kesehatan, penurunan kualitas hidup, kemudian waktu tempuh dan lain-lain," jelas Zulkifli.
Baca Juga:
Pangkas 145 Regulasi, Kebijakan Distribusi Pupuk Langsung Ke Petani Dinilai Tepat
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna menyebut ketidakadaan otoritas tunggal yang memiliki wewenang lebih luas untuk mengatur dan mengelola seluruh sistem transportasi secara terpadu lintas wilayah administrasi masih menjadi salah satu tantangan utama dalam integrasi transportasi Jabodetabek.
Menurut Yayat saat ini belum ada badan yang memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengintegrasikan seluruh moda transportasi di Jabodetabek.
Meskipun Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan, telah memiliki beberapa program dan inisiatif, seperti JR Connexion Jabodetabek dan subsidi buy the service (BTS), kewenangan mereka masih terbatas, ucap Yayat.
Baca Juga:
Soal Penahanan Ijazah Karyawan, Kemenkumham Nilai Perlu Regulasi Isi Kekosongan Hukum
[Redaktur: Alpredo Gultom]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.