Psikolog dari Universitas Indonesia, Dr. Rose Mini Agoes Salim pun berpendapat sama. Moral adalah faktor terpenting dari pola asuh. Namun, moral tidak bisa tumbuh dengan baik tanpa ada stimulasi.
Contohnya anak yang tinggal di keluarga pencuri. Anak akan menganggap mencuri itu adalah hal biasa, karena memang kemampuan moralnya untuk menganggap mencuri adalah perbuatan buruk tidak terasah.
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Kampanye Akbar di Labura: Fokus pada Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur
“Begitupun sikap anarkis. Orang yang tumbuh di lingkungan anarkis, juga cenderung menganggap anarkis itu tindakan biasa. Sehingga, kalau memang sejak dini ditanamkan sikap anarkis adalah perbuatan buruk, anak kemungkinan besar tidak akan melakukan itu,” ucap Rose.
Memang tidak mudah mengubah budaya yang ada di lingkungan pendidikan Indonesia selama ini.
Tentu membutuhkan waktu panjang. Kendati begitu, Kemendikbudristek paling tidak sudah mengakui dan telah merancang sistem untuk menghapus dosa-dosa tersebut
Baca Juga:
Pj Wali Kota Madiun Resmikan Sekolah Terintegrasi untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan
“Sudah ada Pokja, pencegahan dilakukan oleh Pusat Pendidikan Karakter sedangkan penanganan oleh Itjen Kemendikbud Ristek. Prosesnya bukan seperti pemadam kebakaran, ada kasus datang padamkan. Kita bangun budaya, bangun sistem agar pelaku atau korban dapat ditangani dengan baik dan sesuai aturan,” ucap Retno.
Kemendikbud Ristek telah menerbitkan regulasi tentang penanggulangan kekerasan di sekolah dalam bentuk Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.
Permendikbud ini mengatur tata cara pencegahan dan penanggulangan kekerasan untuk menghadirkan rasa aman pada peserta didik khususnya di lingkungan sekolah sebagai rumah kedua yang bebas dari tindak kekerasan. [Tio]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.