“Gerakan ini lahir dari kesadaran moral, bukan instruksi. Karena itu nilainya sangat tinggi,” tegasnya.
Data Susenas 2024 menunjukkan bahwa partisipasi sekolah pada kelompok usia 16–18 tahun masih menjadi yang terendah di antara jenjang lainnya.
Baca Juga:
Kemen PPPA Apresiasi Program Humanis Kemendikdasmen untuk Lindungi Anak di Sekolah
Lebih dari 20 persen lulusan SMP tidak melanjutkan ke SMA/SMK, bahkan hingga November 2025 tercatat 453.605 siswa putus sekolah di jenjang tersebut.
Situasi inilah yang mendorong Direktorat SMA menginisiasi Gerakan ARPS pada 2021.
Direktur SMA, Winner Jihad Akbar, menjelaskan bahwa program ini kini telah dilaksanakan di delapan provinsi NTT, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Aceh, NTB, Maluku Utara, dan Bali dengan melibatkan lebih dari 900 sekolah
Baca Juga:
Bahasa Inggris Jadi Pelajaran Wajib di SD Didukung Pakar UGM, Tapi Kasih Catatan Ini
Winner melaporkan bahwa sebanyak 8.491 siswa telah teridentifikasi sebagai anak rentan putus sekolah, dan 76 persen di antaranya berhasil dipertahankan agar tetap bersekolah melalui pendampingan intensif.
“Tujuan utama gerakan ini adalah menjaga keberlanjutan upaya pencegahan agar setiap anak benar-benar mendapatkan haknya atas pendidikan yang bermutu,” jelasnya.
Wamen Fajar menambahkan bahwa kerentanan putus sekolah tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga kondisi psikologis, persoalan keluarga, lingkungan sosial, hingga rendahnya motivasi belajar.