Ia menyoroti pengaruh budaya digital yang mendorong pola pikir serba cepat namun dangkal.
“Pengaruh media sosial membuat banyak anak terjebak pada pola pikir cepat tapi dangkal. Etos belajar melemah karena mereka melihat jalan pintas sebagai hal yang normal,” ujarnya.
Baca Juga:
Kemen PPPA Apresiasi Program Humanis Kemendikdasmen untuk Lindungi Anak di Sekolah
Karena itu, ia menilai sekolah harus lebih peka dalam memantau perubahan perilaku siswa, mulai dari peningkatan absensi, menurunnya capaian belajar, hingga munculnya perilaku indisipliner berulang.
Deteksi dini dianggap penting agar sekolah dapat menyesuaikan strategi pembelajaran maupun pendekatan pendampingan.
Wamen Fajar menekankan bahwa sekolah memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melayani semua anak tanpa diskriminasi.
Baca Juga:
Bahasa Inggris Jadi Pelajaran Wajib di SD Didukung Pakar UGM, Tapi Kasih Catatan Ini
Ia mencontohkan implementasi jalur afirmasi yang membuka akses bagi peserta didik dari keluarga sangat miskin (desil 1 dan 2).
“Sekolah tidak boleh menjadi institusi yang mengawetkan ketimpangan. Sekolah harus menjadi institusi yang menciptakan keadilan bagi semua anak,” katanya.
Meski keragaman latar belakang siswa membawa dinamika tersendiri, ia menegaskan bahwa kondisi tersebut justru membuka peluang bagi sekolah untuk membangun karakter inklusif dan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman.