Ada juga antimon trioksida yang sifatnya bisa karsinogen. Kemudian Phthalate yang toksik pada sistem reproduksi dan endokrin atau hormonal. Juga kemasan berbahan plastik Polystyrene yang banyak dipakai untuk styrofoam, bisa menyebabkan karsinogen bagi manusia.
“Jadi, bisa digambarkan betapa pelabelan free BPA dari kemasan yang nggak ada BPA-nya itu lebih membahayakan konsumen," ucapnya.
Baca Juga:
PT Primadaya Plastisindo Setujui Dividen Tunai Rp10,19 Miliar untuk 2023
Memang benar, menurutnya, plastik tersebut tidak mengandung BPA, namun mengandung senyawa yang berbahaya. Masyarakat harus diberitahu tentang bahan kimia berbahaya dalam kemasan pada label. Bukannya malah bangga melabeli kemasannya dengan free BPA.
Sahid Hadi, peneliti ekonomi dan HAM di Pusat Penelitian HAM Universitas Islam Indonesia (UII), yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut, mengatakan ada rasa persaingan bisnis terhadap pelabelan bebas BPA ini.
"Pelabelan seperti itu terkesan tidak adil dan sangat menjatuhkan kemasan produk-produk pangan yang mengandung BPA seperti kemasan galon guna ulang,” katanya.
Baca Juga:
Momen Ramadhan, IPDN Resmikan Pabrik Air PRAJA dan Bagikan 500 Paket Sembako
Tugas negara yang paling penting, sebutnya, adalah memastikan bisnis air minum dalam kemasan tidak berbahaya bagi kesehatan. Ia mengatakan satu galon AMDK bukan hanya satu galon untuk sekali pakai, tetapi juga galon lainnya yang digunakan ulang, yang semuanya harus diperlakukan secara adil.
Jika mereka sudah mengetahui bahwa air kemasan galon banyak macamnya, pemerintah harus memastikan bahwa kemasan galon apapun tidak boleh membahayakan kesehatan masyarakat.
"Seluruh AMDK galon itu harus diidentifikasi tingkat keberbahayaannya pada kesehatan publik. Jadi, bukan hanya berfokus pada galon guna ulang saja,” tuturnya.