"Perusahaan ini telah berada dalam posisi merah selama enam tahun terakhir."
Rite Aid yang berawal dari sebuah toko barang bekas pada 1962, menjadi jaringan toko obat terbesar ketiga di AS dalam waktu kurang dari dua dekade dengan lebih dari 2.000 toko ritel di 17 negara bagian.
Baca Juga:
Pengadilan Putus Jogja Apartemen Pailit, Konsumen Diminta Segera Ajukan Tagihan
Namun, perusahaan ini dihantam oleh tuntutan hukum yang menuduh apotek-apotek berkontribusi terhadap kelebihan pasokan resep opioid, yang telah memainkan peran utama dalam lebih dari 1 juta kematian akibat overdosis obat di AS sejak tahun 1999.
Selain gugatan terkait opioid, Rite Aid diketahui memiliki total utang sebesar US$8,60 miliar sejak 3 Juni silam. Menurut pengajuan ke Pengadilan Kepailitan AS untuk Distrik New Jersey, beberapa di antaranya akan jatuh tempo pada tahun 2025. Rite Aid juga mencatatkan total aset sebesar US$7,65 miliar.
Pihak perusahaan juga mengatakan mereka akan mempercepat langkah penutupan toko-toko dan menjual beberapa bisnisnya, termasuk penyedia layanan resep Elixir Solutions. Kebangkrutan juga disebut dapat membantu menyelesaikan sengketa hukum perusahaan dengan biaya yang jauh lebih murah.
Baca Juga:
Menteri Kesehatan akan Buat Aturan Test PCR Bisa di Apotek
Sebagai bagian dari rencana pengajuan pailit, Rite Aid menunjuk CEO baru, Jeff Stein, yang juga akan menjabat sebagai kepala restrukturisasi dan anggota dewan. Dalam pernyataannya, Stein mengatakan bahwa perusahaan berencana untuk tetap menjalankan bisnisnya.
"Dengan dukungan para pemberi pinjaman, kami berharap dapat memperkuat fondasi keuangan, memajukan inisiatif transformasi dan mempercepat pelaksanaan strategi turnaround kami," kata dia.
"Dengan demikian, kami akan semakin mampu memberikan produk dan layanan kesehatan yang menjadi andalan para pelanggan dan keluarga mereka, baik sekarang maupun di masa depan," sambungnya.