Kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang dirilis Bank Indonesia juga melemah menjadi Rp 16.585 per dolar AS dari posisi sebelumnya yang berada pada level Rp 16.534 per dolar AS yang menjadi sinyal tambahan tekanan terhadap nilai tukar.
Analis mata uang Ibrahim Assuabi menilai bahwa pelemahan Rupiah kali ini tidak terlepas dari kekhawatiran pasar terhadap potensi berlanjutnya penutupan pemerintahan Amerika Serikat yang dinilai dapat mengacaukan jadwal rilis data ekonomi krusial.
Baca Juga:
Rupiah Melemah, Tapi Modal Asing Tetap Deras Masuk ke Pasar SBN
"Penutupan pemerintah AS masih berlangsung hingga hari kesembilan dan Risalah Rapat Federal Reserve (Fed) terbaru menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan sepakat untuk mendukung pasar tenaga kerja yang (sedang) melemah," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Berdasarkan risalah Federal Open Market Committee (FOMC), mayoritas pejabat The Fed mengindikasikan dukungan terhadap pemangkasan suku bunga pada akhir tahun 2025 meskipun sebagian lainnya meminta agar langkah tersebut tidak dilakukan terburu-buru karena tekanan inflasi yang masih berlangsung.
Situasi ini menguatkan ekspektasi pasar terhadap arah kebijakan suku bunga yang lebih longgar namun tetap dengan nuansa kehati-hatian untuk menjaga kestabilan ekonomi global dan arus modal.
Baca Juga:
Pekan Ini, BI Catat Modal Asing Keluar Bersih Capai Rp10,33 Triliun
Ibrahim juga menyebut bahwa minimnya publikasi data ekonomi Amerika Serikat akibat penutupan pemerintah akan membuat pelaku pasar lebih banyak bergerak berdasarkan ekspektasi dan sentimen ketimbang data konkret yang biasanya menjadi panduan utama.
CME FedWatch menunjukkan bahwa peluang penurunan suku bunga pada Oktober mendekati 100 persen dan pasar memperkirakan pemangkasan lanjutan pada rapat Desember yang berpotensi menekan imbal hasil obligasi AS dan menurunkan kekuatan dolar AS.
Pada perdagangan Jumat (10/10/2025) pagi, Rupiah kembali dibuka melemah 13 poin atau 0,08 persen menjadi Rp 16.581 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp 16.568 per dolar AS yang menunjukkan bahwa volatilitas tetap menjadi faktor dominan.