WahanaNews.co | Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menyatakan perlunya kajian mendalam sebelum menerapkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Menurutnya, jika KRIS diberlakukan, potensi kerugian akan dialami oleh peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terutama peserta kelas tiga yang kemungkinan akan mengalami kenaikan iuran.
Baca Juga:
Iuran BPJS Kesehatan Jadi Tarif Tunggal Setelah KRIS Diterapkan
Sementara itu, peserta kelas satu akan mengalami penurunan status kelas menjadi kelas dua yang merupakan kelas standar.
"KRIS tidak memiliki landasan filosofis dan sosiologis yang jelas dan konkret. Saat ini, yang dibutuhkan oleh peserta JKN adalah standarisasi pelayanan untuk semua kategori peserta dan kelas JKN," ujar Tulus, Selasa (1/8/2023).
Tulus juga menyatakan bahwa salah satu kerugian lain dari KRIS adalah jika peserta JKN tidak setuju dengan pelayanan kelas standar, maka peserta tersebut harus memilih rumah sakit lain yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Baca Juga:
Transformasi Layanan Kesehatan: Ini Bedanya KRIS dan Kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan
Rumah sakit tersebut mungkin adalah rumah sakit swasta yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan cenderung memiliki biaya yang lebih tinggi.
Selain itu, penerapan KRIS juga dapat menimbulkan masalah bagi rumah sakit karena mereka harus melakukan penyesuaian infrastruktur, termasuk ruangan dan peralatan kesehatan. Hal ini bisa menjadi masalah yang memunculkan tekanan di masa depan.
"Pendapatan rumah sakit juga akan terancam. Program KRIS berpotensi mengakibatkan pembentukan kelompok baru rumah sakit, yaitu rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan yang tidak bekerja sama."
Selain itu, rumah sakit yang bermitra dengan BPJS Kesehatan akan dianggap sebagai rumah sakit kelas bawah, sementara yang tidak bermitra akan dianggap sebagai rumah sakit dengan pelayanan yang lebih handal.
"Ini adalah sesuatu yang berbahaya," jelasnya.
Dengan mempertimbangkan berbagai situasi tersebut, dia mengimbau Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk tidak memaksakan penerapan KRIS.
Wacana kebijakan KRIS harus dipelajari dengan matang, tidak perlu terburu-buru, demi kepentingan peserta JKN.
"Jika kebijakan KRIS dijalankan, ini dapat mengancam eksistensi Program JKN dan BPJS Kesehatan. Jangan berdalih bahwa KRIS bertujuan menyelamatkan finansial BPJS Kesehatan, karena aspek finansial BPJS Kesehatan telah mengalami surplus."
"Jangan sampai KRIS ini di masa depan menimbulkan anomali dan masalah yang lebih rumit. Yang sangat mendesak bagi konsumen saat ini adalah standarisasi pelayanan, bukan klasifikasi berdasarkan standar," tegasnya. [eta]