Sementara itu, porosjakarta.com memberitakan : "10 tahun dipimpin, bank dunia mencatat warisan terbesar era jokowi 172 juta orang Indonesia hidup miskin".
Ironinya saat ini Negara mengeluarkan berbagai kebijakan pajak dan pungutan secara jor-joran yang justru menambah beban rakyat. Konsumen, sekali lagi, menjadi korban dari kebijakan yang tampaknya lebih berpihak pada aspek fiskal ketimbang kesejahteraan publik.
Baca Juga:
OJK Akui Masalah Komunikasi soal Pemblokiran Rekening Dormant oleh PPATK
Kemerdekaan tahun ini (ke-80) harus dijadikan momentum evaluasi serius untuk memerdekakan konsumen (rakyat) dari kecemasan, ketakutan, kemarahan, dan frustasi, dari kesulitan hidup, dimudahkan dalam memperoleh kebutuhan hidup sehari² termasuk mendapat layanan kesehatan dan pendidikan. Itulah sebetulnya makna kemerdekaan.
Praktek mafia ekonomi, korupsi/KKN dan oligarki yang rakus/menggasak komoditas kebutuhan hajat hidup orang banyak ini, tidak lepas dari keterlibatan pejabat dan elit politik rezim lama maupun baru, sementara cawe-cawe penguasa lama dan kurangnya sikap tegas pemerintah saat ini menjadikan nasib konsumen tambah pelik, gelap dan tidak merdeka.
80 Tahun Umur Indonesia Merdeka : Konsumen Seharusnya Merdeka dari Kesulitan Hidup (memperoleh hak-haknya mencapai kesejahteraan sesuai konstitusi UUD 1945).
Baca Juga:
PPATK Rampungkan Analisis 122 Juta Rekening Dormant, 90 Persen Sudah Aktif Kembali
Untuk itulah, penanganan lebih (extra ordinary) dan serius dari negara (negara harus hadir secara all out) menjadi keniscayaan. Perlawanan rakyat sangat pontensial pecah karena masalah 'isi perut'. Kasus kebijakan pajak di Pati, alarm bagi pimpinan nasional. Hati² kemarahan rakyat bisa dimulai dari Pati. [*]
*] Penulis : Dr. Firman Turmantara Endipradja, SH., S.Sos., M.Hum dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Ketua HLKI Jabar Banten DKI Jakarta/Mantan Anggota BPKN RI (periode 2013-2016 & 2020-2023).