WahanaNews.co | Pelaku industri hasil tembakau (IHT) menolak rencana pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2022 pada bulan ini, karena dinilai akan memperburuk nasib petani, buruh industri rokok serta pelaku usaha turunannya.
Mereka mengatakan bahwa IHT, utamanya segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) justru saat ini perlu mendapat perhatian secara khusus mengingat sektor ini merupakan industri padat karya dan selalu memberi kontribusi yang besar bagi penerimaan negara.
Baca Juga:
YLKI: Konsumen Lebih Aman dengan Kebijakan Kemasan Polos pada Rokok
Seperti diutarakan oleh Badaruddin, Sekjen Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Kudus, Jawa Tengah, Badaruddin menegaskan bila kenaikan cukai terjadi, pabrikan kecil khususnya akan melakukan sejumlah penyesuaian sehingga dapat memperburuk nasib buruh.
"Pabrikan akan mengencangkan ikat pinggang. Mulai dari pengurangan bahan baku dan yang pasti pengurangan tenaga kerja. Pabrikan akan mengkalkukasi pengeluaran, dan jelas pengeluaran dari sisi karyawan salah satunya," ujar Badaruddin, Selasa (9/11/2021).
Segmen SKT sebagai penyerap utama tenaga kerja di IHT dinilai akan merasakan dampak paling signifikan jika terjadi kenaikan cukai. Buruh SKT yang membuat rokok secara manual dan diberikan upah sesuai dengan hasil produksi rokok yang dihasilkan akan mengalami penurunan pendapatan signifikan jika permintaan produksi rokok SKT berkurang.
Baca Juga:
Malang Nasib Istri Korban KDRT di Tangerang, Disundut hingga Ditusuk lalu Diusir
"Buruh pasti makin menderita. Dan, perlu diingat bahwa pabrikan kecil SKT jumlahnya lebih banyak, mereka ini adalah home industri yang menjadi andalan para buruh. Kalau industrinya terpukul, sudah pasti buruh kena efeknya. Buruh mengandalkan pendapatan harian atau bulanan dari permintaan produksi rokok. Lah, kalau permintaan produksinya terus tertekan, bagaimana nasib buruh?" tegas Badaruddin.
Di Kudus sendiri, lanjut Badaruddin, terdapat sekitar 78 ribu buruh industri rokok. Sekitar 85 persen dari total buruh tersebut adalah kaum perempuan yang bekerja sebagai buruh linting di SKT. Mereka adalah kaum perempuan yang berusaha mandiri, bahkan tak sedikit yang menjadi tulang punggung keluarga.
"Kalau industrinya tertekan, pabriknya menyerah, bangkrut, mau pindah kerja ke mana lagi? Industri ini yang mau dan mampu menyerap tenaga kerja perempuan, yang mayoritas tamatan SD dan SMP," katanya.