WahanaNews.co | Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan advokasi rakyat,
Haris Azhar, menemukan adanya fenomena keterlibatan buzzer dalam
persoalan sengketa tanah. Buzzer sudah keterlaluan sampai-sampai bisa melakukan
framing terhadap personifikasi seseorang.
"Membangun kesan bahwa pihak yang dibela mereka adalah korban,
tertindas dan miskin sedangkan lawannya adalah kebalikannya," ujar Haris kepada
awak media, Minggu (8/11/2020).
Baca Juga:
Kemen PPPA Pastikan Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Korban KDRT 5 ART di Jaktim
Atas alasan Itulah, klaim Haris Azhar, dia bersedia menjadi kuasa
hukum Benny Tabalujan yang belakangan ramai diberitakan sebagai tersangka
pemalsuan dokumen tanah.
"Dia dikerjain secara sistematis dan teorganisir oleh pihak di
belakang lawannya. Menurut saya ini adalah rekayasa. Jadi kan menarik, di mana
lawannya dipersonifikasikan orang miskin yang punya tanah, tanahnya diambil.
Tapi ini ada buzzer di belakang itu, buzzer itu kan bukan kelompok advokasi.
Buzzer itu kan kalau enggak ada duitnya tidak akan jalan dan ini kontradiktif,
lawan digambarkan sebagai orang miskin tiba-tiba ada kelompok buzzer," kata
pria yang juga sering membela petani dalam advokasi pertanahan tersebut.
Di kesempatan terpisah, Anggota Komisi II DPR, Johan Budi SP, juga mendapati informasi tentang adanya penggunaan
buzzer dalam sengketa tanah yang digunakan para mafia tanah.
Baca Juga:
Peluang dan Tantangan: Etika & Politik Kenegaraan Indonesia
"Mafia tanah ini begitu kuat. Bahkan saya dengar, mafia tanah
seperti di pilpres kemarin,
pakai buzzer-buzzer juga," ujar Johan.
Sementara kasus Benny Tabalujan sendiri, sambung Haris, banyak menimbulkan tanda tanya.
Keluarga Benny Tabalujan sudah memiliki SHM tanah seluas 7,7 hektare di daerah
Cakung, Jakarta Timur sejak 1975. Namun malah jadi tersangka karena dianggap
memalsukan keterangan dalam formulir penurunan hak dari SHM ke HGB untuk
keperluan imbreng ke perusahaan. Anehnya kata dia, oleh BPN, kepemilikan
tanahnya malah dialihkan ke Abdul Halim, pihak lawannya.
"Dalam proses PTUN, tanpa menunggu hasil kasasi, BPN sudah
keluarkan SK Pembatalan SHGB dan selanjutnya SHM Abdul Halim diterbitkan cuma
dalam waktu 1 hari. Padahal seharusnya ada prosedur pengumuman ke publik dulu
sebelum penerbitan. Yang gilanya lagi, girik yang diklaim Abdul Halim itu luas
5,5 hektare. Kok kemudian diterbitkan SHM atas nama Abdul Halim seluas 7,7
Hektar," imbuh Haris.