“THAAD dirancang untuk ancaman balistik konvensional, bukan serangan simultan bertubi-tubi seperti yang dilakukan Iran,” jelas Andrew Gabel, analis senior bidang keamanan Timur Tengah di Foundation for Defense of Democracies (FDD).
Ia menambahkan, “Kemampuannya untuk mencegat tetap terbatas saat harus menangani puluhan rudal dalam waktu bersamaan, apalagi jika serangan disertai drone kamikaze dan rudal presisi tinggi.”
Baca Juga:
Israel Keteteran, Rudal Iran Diprediksi Bakal 'Robek' Iron Dome di Hari ke-18
Senada dengan itu, Dr. Eliza Cameron dari Pusat Studi Strategis London menyoroti pentingnya sistem pendukung yang menyertai pengoperasian THAAD.
“Efektivitas THAAD dalam perang modern sangat bergantung pada integrasi dengan sistem radar multilapis dan pertahanan udara berlapis. Tanpa kombinasi itu, THAAD bisa kewalahan, bahkan lumpuh menghadapi gelombang serangan besar seperti dari Iran atau Yaman,” ujarnya.
Bagi Arab Saudi, keputusan mengaktifkan sistem ini adalah bagian dari kesepakatan senjata senilai USD 110 miliar yang diteken bersama Amerika Serikat sejak 2019.
Baca Juga:
Serangan Menggila, Bom Israel Hantam Kantor TV Iran Saat Siaran Langsung
Selain membeli sistem THAAD, kerajaan juga menjalin kontrak produksi dengan Lockheed Martin untuk memproduksi komponen-komponen lokal seperti peluncur dan tabung rudal. Namun, hingga kini, belum ada informasi resmi kapan produksi tersebut dimulai.
Langkah Saudi tersebut tentu bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman terhadap infrastruktur energi dan militer Saudi meningkat tajam.
Serangan rudal dan drone ke kilang minyak Aramco serta pangkalan militer di Najran dan Abha menandai eskalasi konflik yang melibatkan kelompok proksi Iran seperti Houthi di Yaman.