Keputusan ini diambil ketika China semakin sensitif terhadap orang-orang kaya yang memamerkan kekayaan mereka ketika negara tersebut menghadapi kemerosotan ekonomi yang signifikan.
Pada September 2022, kesenjangan pendapatan antara orang terkaya dan termiskin mencapai nilai tertinggi sejak pencatatan pada 1985. Perlambatan ekonomi yang terjadi sangat berdampak pada masyarakat kelas menengah.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Anak muda di China juga tengah bersaing ketat untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa dari mereka memilih untuk menolak bekerja berlebihan dan menarik diri dari masyarakat.
Namun, ada pula yang menganggap bahwa membuat konten di media sosial sebagai satu-satunya karier yang layak dijalani.
“Ketika kebanyakan orang tidak bahagia dengan kehidupan mereka sendiri, mereka melihat semua konten online yang tidak terhubung dengan kenyataan, melihat semua orang yang tampak begitu bahagia dan kaya, hal ini menciptakan psikologi yang sangat menyesatkan,” ujar Lyla Lai, mantan influencer kecantikan yang memiliki lebih dari satu juta pengikut di Douyin, kepada NBC News.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
"Kekhawatiran tentang anak muda saat ini yang terlalu sering melihat hal-hal ini [konten flexing] dan tidak lagi fokus pada studi mereka, terjebak dalam materialisme yang berlebihan dan serakah," tambahnya.
Bagaimana di Negara Lain?
Konten flexing tidak hanya marak terjadi di China. Maka, ada kemungkinan negara-negara lain yang menghadapi masalah serupa, seperti Timur Tengah dan Afrika, dapat menerapkan larangan serupa terhadap konten flexing di media sosial.