WahanaNews.co | Setelah sukses menggulingkan pemerintahan Afghanistan, Taliban kini dikabarkan sedang mendekati Cina untuk mulai berinvestasi di Afghanistan sebagai upaya membangun perekonomian yang ambruk akibat sanksi blok negara barat (Amerika Serikat dan sekutunya).
Seperti dilansir dari ABC, Otoritas Informasi dan Statistik Nasional Afghanistan mencatat China merupakan negara ketiga sebagai rekan perdagangan bagi Afghanistan pada Senin (30/8/2021).
Baca Juga:
Taliban Persekusi Ratusan Perempuan Afghanistan
Sejak 2019 hingga 2020, total nilai ekspor Afghanistan ke China mencapai US$55,3 juta. Sementara, total impornya mencapai US$986,5 juta.
Sementara itu investasi langsung China telah meningkat pada 2020 hingga 11 persen.
Pusat Pertukaran Ekonomi Internasional China, yang diatur oleh Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional, telah menekankan bahwa sekarang adalah waktu terbaik bagi perusahaan China untuk memasuki Afghanistan.
Baca Juga:
Taliban Larang Anak Perempuan Berusia 10 Tahun untuk Sekolah
Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional umumnya dikenal sebagai "Dewan Negara mini" China. Sebagai catatan, Dewan Negara memiliki pengaruh luas pada perencanaan strategis untuk ekonomi negara.
Namun, sebagian ahli menilai langkah China untuk menginvestasikan uangnya di Afghanistan berat dan belum realistis untuk dilakukan.
Profesor Gu Xuewu, Direktur Pusat Studi Global di Universitas Bonn di Jerman, mengaku tidak percaya sumber daya alam Afghanistan akan menjadi motif utama Beijing untuk berinvestasi di negara itu.
Ia pun menambahkan bahwa mengekstrak sumber daya Afghanistan dinilai lebih mahal dibandingkan daerah lain.
Selain itu, Senior Associate Fellow di Royal United Services Institute Britania Raya Raffaello Pantucci mengungkapkan bahwa Taliban memiliki pengalaman yang sangat sedikit dalam proyek-proyek tertentu.
Pantucci turut menilai ketidakstabilan kondisi Afghanistan akan menjadi alasan lain sulitnya berinvestasi di Afghanistan kini.
"Investasi atau bantuan China untuk infrastruktur bisa masuk lebih banyak sekarang, namun tampaknya tidak mungkin mengingat kemungkinan berlanjutnya ketidakstabilan di Afghanistan dan fakta bahwa secara umum lembaga kebijakan China berada di bawah tekanan yang lebih besar untuk memastikan pengembalian investasi pada proyek mereka," ujar Pantucci.
Sementara itu, Pengamat Timur Tengah Universitas Internasional Shanghai Professor Fan Hongda turut memberikan alasan bahwa Afghanistan dinilai masih gagal dalam menciptakan stabilitas keamanan setelah pemerintah yang didukung AS sebelumnya. [rin]