Kementerian Keuangan mengatakan, Sri Lanka hanya memiliki cadangan devisa yang dapat digunakan sebesar 25 juta dollar AS (Rp 375 miliar). Dibutuhkan 6 miliar dollar AS (Rp 90 triliun) untuk tetap bertahan selama enam bulan ke depan.
Alhasil, negara ini di ambang kebangkrutan, dengan hampir tidak ada uang untuk mengimpor bensin, susu, gas memasak, obat-obatan.
Baca Juga:
Presiden Jokowi dan Presiden Wickremesinghe Bahas Peningkatan Kerja Sama Indonesia-Sri Lanka
Bagaimana politik memengaruhi krisis?
Para ekonom mengatakan, krisis berasal dari faktor domestik seperti salah urus dan korupsi selama bertahun-tahun.
Sebagian besar kemarahan publik terfokus pada Presiden Gotabaya Rajapaksa dan saudaranya, mantan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa.
Mahinda terakhir mengundurkan diri setelah berminggu-minggu protes anti-pemerintah yang akhirnya berubah menjadi kekerasan.
Baca Juga:
Bakamla RI Terima Kunjungan Kehormatan DSCSC Sri Lanka
Pada April 2021, Rajapaksa tiba-tiba melarang impor pupuk kimia. Dorongan untuk pertanian organik mengejutkan para petani dan menghancurkan tanaman padi pokok, dan mendorong harga lebih tinggi.
Pemerintah perlu meningkatkan pendapatannya karena utang luar negeri untuk proyek infrastruktur yang besar—dan dipertanyakan—melonjak. Namun, Rajapaksa malah mendorong pemotongan pajak terbesar dalam sejarah Sri Lanka.
Kreditur akhirnya menurunkan peringkat Sri Lanka, menghalanginya untuk meminjam lebih banyak uang karena cadangan devisanya merosot.