Militer Myanmar melancarkan
kudeta pada Senin, 1 Februari 2021.
Mereka berdalih, kudeta adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan
negara, setelah Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Aung
San Suu Kyi dituduh merebut kemenangan pada kontestasi Pemilihan Umum 2020 dengan kecurangan.
Baca Juga:
Bertahan di Rakhine, Etnis Rohingya Seolah Hidup Tanpa Harapan
Menurut Christine, mereka sangat
terkejut karena perebutan kekuasaan tidak berjalan lancar.
Terlebih, mereka tetap gagal
membendung gelombang demonstrasi, sekalipun berbagai pembatasan dan
pendekatan-pendekatan represif telah dilakukan.
Sejauh pengamatannya, unjuk rasa di
Burma dipelopori oleh aktivis dan kelompok muda yang telah menikmati kebebasan
dalam 10 tahun terakhir.
Baca Juga:
Aung San Suu Kyi Divonis 6 Tahun Penjara
Kata Christine, mereka enggan hidup di
bawah kekangan dan kembali terisolasi dari dunia.
Adapun kelompok tua juga ikut turun ke
jalan, karena takut dan tidak ingin merasakan lagi hidup
terkekang di bawah rezim militer.
"Saya pikir tentara sangat terkejut
bahwa (strategi kudeta) itu tidak berhasil, karena di masa lalu, pada 1988, 2007, dan 2008, itu berhasil," jelas dia, mencatat bagaimana pada tahun-tahun itu militer berhasil meredam gerakan sipil dengan senjata.