Melalui kebijakan ini, entitas asing diwajibkan memperoleh izin resmi dari pemerintah China sebelum mengekspor produk yang mengandung lebih dari 0,1 persen tanah jarang asal China atau yang diproses menggunakan teknologi ekstraksi, pemurnian, produksi magnet, dan daur ulang yang dikembangkan oleh perusahaan maupun lembaga riset China.
Permohonan ekspor akan ditolak jika terindikasi ada potensi penggunaan untuk memproduksi senjata, mendukung aktivitas terorisme, atau diarahkan pada kepentingan militer negara lain.
Baca Juga:
Indonesia Diwajibkan Beli 50 Boeing 777, Ini Harga Fantastis per Unitnya
Sehari setelah kebijakan diumumkan Beijing, Presiden AS Donald Trump pada Kamis (10/10/2025) mengumumkan penerapan tarif baru sebesar 100 persen terhadap seluruh impor dari China di luar tarif yang telah lebih dulu berlaku.
Kebijakan tarif tersebut dijadwalkan efektif berlaku mulai Sabtu (01/11/2025), sekaligus diiringi dengan pernyataan Trump bahwa AS juga akan membatasi ekspor seluruh perangkat lunak penting atau critical software ke China pada tanggal yang sama.
Sebagai respons cepat, Kementerian Perdagangan China menuding Washington menerapkan “standar ganda” dan menilai AS terlalu mudah memperluas definisi keamanan nasional untuk membenarkan pembatasan akses teknologi global.
Baca Juga:
Mendag Busan Hadiri Pertemuan ke-25 AECC, Indonesia Gaungkan Pentingnya Diplomasi, Negosiasi Proaktif, dan Kesatuan ASEAN
“Selama ini AS memperluas definisi keamanan nasional dan menyalahgunakan kontrol ekspor,” kata pernyataan resmi kementerian itu.
China juga menyoroti bahwa daftar kontrol ekspor milik AS mencakup lebih dari 3.000 item, sementara daftar kontrol ekspor China masih berada di bawah 1.000 item yang secara resmi diatur dalam mekanisme otoritas perdagangan.
Kebijakan ekspor tanah jarang ini muncul bersamaan dengan spekulasi mengenai kemungkinan pertemuan langsung antara Presiden Xi Jinping dan Presiden Donald Trump, di tengah memuncaknya ketegangan perdagangan yang berpotensi menyeret ulang arah rantai industri global dan tata ulang kekuasaan teknologi dunia.