Wawancaranya dilakukan seminggu setelah laporan media mengatakan bahwa Perdana Menteri Israel Naftali Bennett diduga menyatakan bahwa Israel sedang mempersiapkan opsi militer guna mencegah Iran memperoleh senjata nuklir.
Hubungan Israel dan Iran tegang sejak Revolusi Islam 1979 di Teheran. Pada saat itu, pemimpin tertinggi Ayatollah Khomeini mengambil sikap anti-Israel yang tajam dan memutuskan semua hubungan dengan tetangganya. Selama bertahun-tahun, kedua belah pihak telah terlibat dalam serangan balas dendam, tetapi telah menghindari konflik militer langsung.
Baca Juga:
Kerap Diserang Israel, PBB Sebut Argentina Jadi Negara Pertama Tarik Pasukan dari UNIFIL
Hubungan antara kedua belah pihak semakin memburuk karena program nuklir Iran, yang dianggap Israel sebagai ancaman bagi keberadaannya. Pada 2015, Iran, Inggris, China, Prancis, Jerman, Rusia, dan AS menandatangani Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), yang umumnya dikenal sebagai perjanjian nuklir Iran
Berdasarkan perjanjian tersebut, Iran akan menghentikan program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi dan embargo senjata.
Israel sangat menentang JCPOA, dengan mantan Perdana Menteri negara itu Benjamin Netanyahu berargumen bahwa kesepakatan itu tidak menghalangi jalan Iran untuk mengembangkan bom nuklir, tetapi malah membuka jalan Iran untuk itu.
Baca Juga:
Netanyahu Tawarkan Rp79 Miliar untuk Bebaskan Satu Sandera di Gaza
Donald Trump, presiden AS pada tahun 2017, juga mengkritik keras kesepakatan itu dan pada tahun 2018 menarik negara itu dari perjanjian tersebut meskipun ada peringatan dan kritik dari pihak penandatangan lain.
Setelah menjabat, Presiden AS yang baru Joe Biden menyuarakan niatnya untuk menghidupkan kembali JCPOA. Namun, keinginan pribadi Joe Biden, agak terhambat oleh Gedung Putih yang mendorong lebih banyak pembatasan untuk dimasukkan dalam perjanjian.
Israel telah menyuarakan penentangan terhadap upaya untuk memulihkan kesepakatan itu. Iran bersikeras bahwa program nuklirnya dimaksudkan hanya untuk tujuan damai, mengutip keputusan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei tahun 2009, yang mengutuk penggunaan dan pengembangan senjata pemusnah massal dan menggambarkannya sebagai pelanggaran terhadap struktur moral Islam.