Bila peserta naik dari kelas 2 ke kelas 1, maka wajib membayar selisih tarif INA-CBG antara dua kelas tersebut. Jika naik dari kelas 1 ke kelas VIP atau VVIP, peserta harus menanggung biaya tambahan paling banyak 75% dari tarif INA-CBG kelas 1. Sementara, peserta yang naik langsung dari kelas 2 ke VIP atau lebih tinggi akan dikenai selisih biaya antara kelas 2 dan kelas 1 ditambah maksimal 75% dari tarif INA-CBG kelas 1.
Sebagai catatan, layanan poli eksekutif hanya dapat digunakan di rumah sakit yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Baca Juga:
INAHAFF 2025: Enam Negara Bersatu Bangun Mekanisme Pengawasan Jaminan Kesehatan
Contohnya, untuk pasien dengan diagnosis demam berdarah, jika tarif INA-CBG kelas 2 sebesar Rp 5 juta dan kelas 1 Rp 6 juta, maka naik kelas dari 2 ke 1 berarti peserta membayar Rp 1 juta.
Sementara untuk naik dari kelas 1 ke VIP dengan tarif Rp 10 juta, selisih maksimal yang dibayar bisa mencapai Rp 4,5 juta.
Jika peserta naik dari kelas 2 langsung ke VIP, maka total selisih maksimalnya menjadi Rp 5,5 juta. Dalam contoh kasus ini, peserta atau pemberi kerja membayar Rp 5 juta sesuai tarif VIP di rumah sakit tersebut.
Baca Juga:
Pemerintah Tegaskan Pasien Gawat Darurat Wajib Dilayani Tanpa Rujukan di Seluruh Indonesia
Bagi peserta kelas 3, aturan tidak memperbolehkan naik kelas. Jika tetap ingin naik, maka statusnya berubah menjadi pasien umum, bukan lagi peserta BPJS.
Pihak yang bisa menanggung selisih biaya antara lain peserta sendiri, pemberi kerja, asuransi kesehatan tambahan, atau pihak lain yang ditunjuk.
Tagihan selisih biaya wajib diterbitkan rumah sakit dalam satu tagihan terpadu dan disampaikan kepada peserta sebelum perawatan dimulai.