WahanaNews.co | Seorang pimpinan pondok pesantren (ponpes) ditetapkan Penyidik Kepolisian Resor Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan terhadap santriwati.
Kepala Seksi Humas Polres Lombok Timur Nicolas Oesman mengungkapkan tersangka merupakan pimpinan ponpes yang berada di wilayah Sikur.
Baca Juga:
Peringati HSN 2024, Pjs Bupati Labuhanbatu Utara Serahkan Karpet Masjid ke Pondok Pesantren
"Pimpinan ponpes di Sikur yang menjadi tersangka itu berinisial HN, kelahiran 1972," kata Nicolas melansir kantor berita Antara, Rabu (17/5/2023).
Dengan penetapan tersebut, penyidik menindaklanjuti dengan melakukan penahanan terhadap yang bersangkutan di Rutan Polres Lombok Timur.
"Jadi, tadi malam selesai pemeriksaan, HN langsung ditahan," ujarnya.
Baca Juga:
Civitas Akademika UNG Gelar Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1446 H di Masjid
Dengan adanya proses hukum demikian, Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram Joko Jumadi memberikan apresiasi kepada penyidik.
"Kami apresiasi kinerja penyidik yang pada akhirnya memberikan progres penanganan hukum. Ini awal yang bagus," kata Joko.
Namun demikian, dia mengingatkan dalam kasus yang berkaitan dengan pelecehan seksual terhadap anak ini pihak kepolisian juga harus memikirkan tentang perlindungan saksi dan korban.
"Karena dari informasi yang kami dapatkan di lapangan, ada saksi dari kasus ini yang mendapatkan intimidasi dari orang-orang pelaku," ujarnya.
Dengan adanya informasi tersebut, Joko pun meyakinkan bahwa dirinya bersama tim di Kota Mataram akan merapat ke Kabupaten Lombok Timur.
"Tujuannya untuk melihat seperti apa bentuk intimidasi itu," ucap dia.
Apabila bentuk intimidasi tersebut tergolong sangat mengganggu keamanan saksi, Joko memastikan akan mengajak lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) untuk membantu memberikan perlindungan terhadap saksi.
"Tetapi, harus kami pastikan dahulu intimidasinya itu seperti apa," kata Joko.
Dalam kasus dugaan pelecehan di ponpes tersebut, BKBH Unram mencatat ada belasan santriwati yang menjadi korban dari tersangka.
Bahkan, dia menunjukkan adanya bukti berupa grup komunikasi dalam media sosial WhatsApp yang sebagian anggotanya adalah korban.
"Di grup WhatsApp itu, yang anggotanya sekitar 30 orang, itu sebagian di antaranya menjadi korban juga, tetapi yang berani bicara dan jadi saksi itu hanya satu. Kenapa begitu, karena ini soal keamanan," ujarnya.
Dengan keterangan demikian, Joko pun mengatakan kepolisian menduga korban dalam kasus ini tidak hanya satu orang. Bahkan, tempus dari perbuatan tersangka ini sudah berjalan cukup lama.
"Karena sebagian korban itu alumni, ada yang sudah jadi pekerja migran, istri orang. Jadi, status itu yang membuat banyak korban tidak mau menjadi saksi," ucap dia.
Meskipun demikian, Joko meyakinkan bahwa pihaknya akan membantu kepolisian untuk menangani kasus ini dengan tepat sasaran.
"Ya, dalam kata lain kami harap tracking juga dilakukan, baik terhadap korban maupun adanya pelaku lain yang mungkin saja belum terungkap," katanya.
Kasus pelecehan di Pesantren
Pelecehan di Lombok Timur itu bukanlah kasus kekerasan seksual yang baru di wilayah pulau tersebut. Sebelunnya terungkap pula kasus pelecehan di ponpes lain di Lombok.
Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Joko Jumadi mengatakan Kementerian Agama (Kemenag) harus bertanggung jawab terkait kasus pelecehan yang diduga terjadi di tiga pondok pesantren di wilayah Lombok Timur.
"Urusan pondok pesantren ini di bawah Kemenag, jadi saya berpikir Kemenag harus tanggung jawab dalam arti melakukan evaluasi dengan menjalankan sistem pengawasan terhadap aktivitas pondok pesantren tersebut," kata Joko di Mataram, Rabu (17/5/2023).
Joko menilai Kemenag seharusnya menunjukkan sikap yang mendukung upaya pencegahan terhadap kasus pelecehan yang terjadi di tiga ponpes wilayah Lombok Timur.
"Ketika kemudian ada kasus seperti ini, mereka cukup dengan berpikir pelaku dihukum, tetapi pencegahan, 'tracking' korban atau pelaku lain tidak dilakukan," ujarnya.
Seperti kasus pelecehan yang terjadi di salah satu ponpes di wilayah Lombok Barat. Joko mengatakan bahwa kasus tersebut berkaitan dengan homoseksual.
"Pondok di situ (Lombok Barat) itu mereka menutup diri dari orang luar. Padahal di situ ada anak yang menjadi korban yang membutuhkan rehabilitasi supaya tidak bermutasi jadi pelaku," ucap dia.
Dia meyakinkan bahwa rehabilitasi korban tidak bisa dilakukan secara mandiri oleh ponpes. "Itu butuh tenaga profesional," katanya.
[Redaktur: Alpredo]