WahanaNews.co | Pesawat Sriwijaya
Air rute Jakarta-Pontianak dengan kode penerbangan SJ-182
hilang kontak pada Sabtu (9/1/2021), pukul 14.40 WIB.
"Pada pukul 14.37 WIB,
kapten pesawat sempat meminta naik ke ketinggian 29.000 feet (ketinggian jelajah). Dinyatakan hilang kontak pada pukul
14.40 WIB," ungkap Menteri Perhubungan,
Budi Karya Sumadi, dalam konferensi pers virtual dari Bandara Soekarno Hatta,
Sabtu (9/1/2021)
malam.
Baca Juga:
Sriwijaya Air Beberkan Alasan 27 Ahli Waris Belum Dapat Ganti Rugi
Budi pun menyebut, pesawat
hilang dari radar dalam hitungan detik.
Juru Bicara Menteri Perhubungan,
Adita Irawati, menyebut, posisi terakhir pesawat diketahui
berada di atas Kepulauan Seribu, Jakarta.
Adita menambahkan, pada pukul
14.37 WIB, pesawat melewati ketinggian 1.700 kaki dan melakukan kontak dengan
Jakartaapproach.
Baca Juga:
KNKT Beberkan Misteri Sriwijaya Air Jatuh di Kepulauan Seribu
Saat itulah, seperti disebut
Budi, pesawat minta izin menambah ketinggian menuju ketinggian jelajah.
"(Pesawat mengarah) ke
barat laut (north
west). Karenanya ATC menanyakan untuk
melaporkan arah pesawat. (Namun), dalam hitungan detik, pesawat hilang dari
layar radar," ungkap Adita.
Lalu, lanjut Adita, pada pukul
14.40 WIB, menara pengatur lalu lintas penerbangan (ATC) Jakarta melihat arah
penerbangan pesawat bukan 0,75 derajat seperti seharusnya bila menuju
Pontianak.
Deputi Bidang Operasi dan
Kesiapsiagaan Badan SAR Nasional, Mayjen TNI (Mar)
Bambang Suryoaji, di Kantor Basarnas, menyatakan, informasi hilangnya pesawat ini mereka terima pada pukul
14.55 WIB.
Mulai Sabtu (9/1/2021), pukul 17.00 WIB, upaya pencarian langsung digelar bersama
oleh Basarnas, TNI, Polri, Kementerian Perhubungan, dan masyarakat di lokasi
yang diduga sebagai titik terakhir pesawat terpantau radar.
Data FlightRadar24 mendapati, pesawat hilang
kontak hanya berselang sekitar empat menit sejak lepas landas.
Penurunan ketinggian pesawat
dari posisi yang sudah di posisi jelajah hingga hilang dari radar terpantau
sekitar setengah menit saja.
Serpihan yang diduga bagian dari
pesawat ini ditemukan di sekitar perairan Kepulauan Seribu menjelang Maghrib.
Sriwijaya Air SJ-182 pun dipastikan jatuh.
Duka mendalam bagi seluruh
keluarga korban...
Info Dasar
Sriwijaya Air dengan kode
penerbangan SJ-182 menggunakan pesawat Boeing
737-500. Pesawat teregistrasi dengan kode PK-CLC.
Pesawat ini ditenagai dua
mesinCFM56-3C1 besutan CFMI, yaitu perusahaan milik bersama Safran Aircraft Engine dari Prancis dan GE Aviation dari Amerika Serikat.
"Tapi sayapnya sudah adaflip, jadi ini termasuk keluaran akhir dari Boeing 737 seri
500," ujar pemerhati penerbangan, Yayan Mulyana, saat berbincang dengan wartawan, Sabtu (9/1/2021) petang.
Pesawat ini belum masuk keluarga
Boeingnext
generationalias masih dari
keluarga Boeing klasik.
Namun, kata Yayan, kondisi
pesawat masih sangat layak dan dipakai oleh banyak maskapai hingga hari ini.
Ada 62 Jiwa di Dalam Pesawat
Seharusnya, pesawat terbang dari
Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pada pukul 13.25 WIB.
Namun, pesawat mengalami
penundaan terbang (delay) selama sekitar
satu jam, dan baru mengudara pada pukul 14.36 WIB, dengan pertimbangan cuaca.
Menteri Perhubungan, Budi Karya
Sumadi, dalam jumpa pers yang digelar Sabtu (9/1/2021), selepas Isya, menyebut,
pesawat mengangkut 43 penumpang dewasa, 7 penumpang anak, 3 penumpang bayi, dan
12 kru.
Konfirmasi ulang data dari
dokumen maskapai, manifes, dan bukti pemeriksaan digatebandara, rincian penumpang adalah 40 penumpang
dewasa, 7 penumpang anak, dan 3 bayi.
Adapun kru di pesawat berjumlah
12 orang. Rinciannya, enam orang kru aktif,
dan enam orangextra crewyang
duduk di kursi penumpang.
Dengan data konfirmasi tersebut,
berarti ada 62 jiwa di dalam pesawat.
Pesawat Boeing 737-500 yang
digunakan di penerbangan ini diketahui terbang perdana pada 13 Mei 1994, dengan
kapasitas maksimal 112 penumpang.
Data Awal
Merujuk data dari FilghtRadar24, berikut ini data
ketinggian dan kecepatan pesawat sejak bersiap di landasan, lepas landas,
mencapai ketinggian jelajah, hingga hilang kontak:
Rute penerbangan yang ditempuh
sejak lepas landas hingga hilang kontak, dapat dilihat pada visualisasi data
penerbangan menggunakan bantuan Google
Earth berikut ini:
Adapun pantauan cuaca di sekitar
rute penerbangan, terlihat dalam gambaran video yang didapat dari aplikasi WIndy berikut ini:
20 Detik Terakhir
Hingga tulisan ini tayang, dalam
semua konferensi pers yang telah digelar tak muncul adanya komunikasi dari
pilot ke menara kendali penerbangan (ATC) di Bandara Soekarno-Hatta terkait penurunan ketinggian terbang di detik-detik
terakhir sebelum hilang dari radar.
Yayan menyebut, data ketinggian dan kecepatan pesawat Sriwijaya Air
berkode penerbangan SJ-182 yang hilang kontak pada Sabtu
(9/1/2021) pukul 14.40 WIB ini perlu dicermati.
"Perhatikan di 20 detik
terakhir," ujar Yayan, yang sudah
mencermati teknis penerbangan selama beberapa dekade ini.
Penurunan ketinggian dan
kecepatan pesawat hingga hilang kontak sempat melalui fase landai. Lalu, lanjut
Yayan, tiba-tiba kecepatan melonjak tinggi saat ketinggian makin rendah.
"Ini langka dan perlu
didalami," kata Yayan.
Bila dirinci, dari data di atas
yang telah disederhanakan dengan hanya memuat ketinggian dan kecepatan,
"keanehan" perilaku pesawat tampak selepas pukul 14:40:05 WIB.
"Ini data bicara sampai
satuan detik ya," tegas Yayan.
Pada waktu itu, ketinggian
pesawat adalah 10.900feet, dengan kecepatan
287 knot. Ketinggian dan kecepatan ini sudah dicapai tiga detik sebelumnya.
Buat catatan, karena ada
penyebutan satuan berbeda, satu meter setara sekitar tigafeet, sementara satu knot setara dengan sekitar 1,85
kilometer (km) per jam.
Lalu, pada pukul 14:40:09,
ketinggian turun ke 10.725feettetapi kecepatan
masih sama.
Penurunan ketinggian berlanjut
ke posisi 8.950feetdan kecepatan
mulai turun ke 224 knot, lalu turun lagi ke 8.125 feet dan kecepatan 192 knot.
"Sampai di sini, data masih
bisa dibilang bagus," kata Yayan.
Namun, lanjut dia, bagus di sini
adalah dalam hal kepatuhan pada regulasi dan pengaturan komposisi antara
ketinggian dan kecepatan.
Seperti Kehilangan Tenaga
Regulasi penerbangan mengatur
ketinggian di bawah 10.000 feet tidak
boleh di atas 250 knot.
Artinya, ketika ketinggian
berkurang dari 10.000 feet, kecepatan
pun harus diturunkan.
Namun, Yayan menyebut, data menjadi cukup unik ketika ketinggian terus turun
sampai 5.400feetdan kecepatan
turun pula hingga 115 knot.
"Ini seperti pesawat
kehilangan tenaga. Posisi moncong pesawat turun, karena ketinggian terus
berkurang, tapi kecepatan juga terus turun," ungkap Yayan.
Puncaknya, sebut dia, pesawat
bisa diduga mengalamistallpada pukul 14:40:27, yaitu ketika ketinggian terpantau radar tinggal
250 meter tetapi kecepatannya melejit hingga ke 359 knot.
"Moncong pesawat diduga ke
bawah tapi kecepatannya lalu mendadak bertambah teramat tinggi danstall, ini langka," ujar Yayan.
Dalam kasus-kasus insiden
penerbangan yang melibatkanstall, moncong pesawat
mengangkat ke atas bahkan bisa tegak lurus ke atas.
Kejadian terakhir semacam ini, antara lain, terjadi pada
musibah Air Asia QZ-8501 rute Surabaya-Singapura, yang jatuh di perairan Selat Karimata, beberapa waktu lalu.
Dalam kejadian tersebut, pesawat
seketika hilang dari posisi ketinggian terakhir tanpa ada penurunan bertahap
setelahstallberkepanjangan, dengan kecepatan terakhir yang lalu
seketika nol.
Penyelidikan KNKT atas insiden
tersebut mendapati ada komponen sensor yang pemasangannya tak lagi sempurna.
Akibatnya, bacaan sensor tak
stabil dan modeautopilotmeresponsnya
dengan mengubah posisi moncong pesawat hingga ke posisi ekstrem.
Sejumlah Misteri
Meski detail membaca data-data
angka ketinggian dan kecepatan itu, Yayan tak mau berspekulasi bahwa posisi
moncong sudah pasti ke bawah.
Dugaan bahwa posisi moncong itu
mengarah ke bawah, ulang dia, semata dari ketinggian dan kecepatan yang sempat
berkurang dengan grafik landai.
"Hanya data FDR (flight data recorder) yang nanti bisa membuktikan yang sebenarnya," ujar
dia.
Yayan juga menyebut, ada banyak
kemungkinan penebab ketinggian pesawat turun setelah sempat melebihi 10.000feetitu.
Namun, lagi-lagi menurut dia, kepastian hanya bisa didapat setelah FDR dan rekaman
percakapan di kokpit pesawat (cockpit voice recorderatau
CVR) dibuka oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Bicara kemungkinan, penyebabnya
bisa beraneka ragam. Sejarah mencatat sejumlah insiden dipicu burung masuk ke
mesin dan menjadikannya mati.
Ada pula kejadian mesin mati
karena masuk ke ketinggian di tengah cuaca tertentu yang membuat es terbentuk
di dalamnya.
Namun, Yayan pun memberi catatan
bahwa bila persoalan yang terjadi adalah mesin mati maka ada sederet pertanyaan
yang muncul lagi.
Misal, apakah seketika dua mesin
mati atau hanya salah satu?
Katakanlah kedua mesin mati,
Boeing 737 klasik pernah mencatatkan sejarah penyelamatan besar ketika pilot
Garuda berhasil mendaratkannya di tengah Sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah.
Peristiwa tersebut memang
melibatkan seri Boeing yang berbeda, yaitu Boeing 737-300, tetapi masih
sama-sama dari seri klasik dengan karakteristik tak jauh berbeda.
"Di situ jelas terlihat,
kalau mesin mati pun masih ada peluang pilot mengambil opsigliding(melayang tanpa dorongan mesin)," sebut Yayan.
Terlebih lagi, posisi terakhir
ketinggian Sriwijaya Air SJY 182 saat mulai mengurangi ketinggian ada di
kisaran 10.000feet.
Menurut dia, dari ketinggian itu
berputar balik ke Bandara Soekarno-Hatta dalam modeglidingpun masih memungkinkan.
Yayan menyebut, besar kemungkinan penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya
SJY 182 ini jauh berbeda pula dengan insiden Lion Air JT-610 pada pengujung 2018.
Dalam kejadian yang sampai
mengguncang industri penerbangan global itu, penyebab kecelakaan adalah
teknologi yang masih baru, asing, dan kurang sosialisasi penggunaan.
Dalam kasus Boeing 737 Max 8 --yang tidak hanya terjadi di Indonesia-- sematan teknologi barumaneuvering characteristic augmentation system(MCAS) jadi pangkal persoalan utama.
Fitur ini hadir karena Boeing
737 Max 8 punya kapasitas mesin yang melonjak dibanding seri klasik sehingga pengaturan
manuver pesawat menjadi lebih kompleks.
Gambarannya, tenaga pesawat yang
bertambah besar memberikan kemungkinan pula moncong mendongak laiknya saat
hendak lepas landas.
Boeing membuat MCAS sebagai
solusi otomatis untuk menurunkan arah moncong pesawat.
Sekalipun, pilot sejatinya dapat
menangani secara manual kecenderungan moncong mendongak, meski itu lebih banyak
makan energi pilot.
Saat sosialisasi dan pelatihan
tak mencukupi, MCAS justru jadi bencana.
Moncong yang sebenarnya sudah di
posisi tepat justru terbaca mendongak oleh MCAS. Karenanya, MCAS merespons
dengan upaya otomatis mengarahkan moncong pesawat ke bawah.
Jawaban atas misteri penyebab
jatuhnya Boeing 737-500 yang digunakan untuk penerbangan Sriwijaya Air berkode
SJ-182 pada Sabtu (9/1/2021) ini tinggal bisa menanti
penyidikan KNKT.
"Biasanya (penyidikan KNKT)
makan waktu sembilan bulan sampai 1,5 tahun," sebut Yayan.
Posko dan Kontak
Pemerintah dan Sriwijaya Air
membuka posko dan kontak darurat bagi keluarga korban jatuhnya Sriwijaya Air
dengan kode penerbangan SJ-182.
Posko di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, berada di Terminal 2D Kedatangan bandara. Hotline untuk layanan keluarga penumpang
adalah021-80637817.
Sriwijaya Air membuka pula posko
layanan di kantor perusahaan, di Bandara Soekarno-Hatta,
dan di Pontianak.
"Kami menyiapkan posko
dibantu APII," kataDirut Sriwijaya Air, Jefferson Irwin Jauwena,
Sabtu
(9/1/2021).
Jefferson menyatakan, perusahaannya
akan melakukan pendampingan pula kepada para keluarga penumpang pesawat ini.
KepalaDisaster Victim
Identification(DVI) Pusdokkes
Polri, Kombes Ahmad Fauzi, menyebut, timnya juga sudah
bersiap di RS Soekanto (RS Polri) di Kramatjati, Jakarta Timur, untuk melayani
keluarga korban musibah Sriwijaya Air SJ-182
ini.
"Besok (Minggu), akan lebih
lagi (personel) tim," kata Fauzi, saat dihubungi wartawan, Sabtu (9/1/2021) malam.
Para keluarga telah pula diminta
membawa serta sejumlah benda atau dokumen yang dapat digunakan untuk proses identifikasi.
DVI akan melakukan identifikasipost mortemdanante mortem.
Dataante mortemini yang diharapkan didapat dari dokumen atau
barang yang dibawa serta oleh keluarga. Seperti, data
sidik jari, susunan gigi, dan atau benda yang dipastikan dipakai para korban
sebelum ini.
Adapun datapost mortemberasal dari hasil temuan tim pencari di lapangan.
Proses pencarian korban dan
puing pesawat Sriwijaya Air SJ-182 dilakukan
dengan melibatkan tim dan peralatan dari Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai
(KPLP) Kementerian Perhubungan, Badan SAR Nasional (Basarnas), TNI AL, dan
Polisi Air (Polair).
Setidaknya, delapan kapal
Basarnas, empat kapal perang milik TNI AL, dan enam kapal Polair terlibat dalam
upaya tersebut.
Sementara itu, KNKT menyatakan, saat ini proses investigasi telah dimulai dengan langkah
awal berupa pengumpulan data.
"(Dari) data cuaca, data
pesawat, data penerbangan. (Tapi, saat ini) yang paling utama adalah Safe and Rescue (SAR), kami mengikuti. Kalau SAR mengatakan kami sudah
bisa turun (investigasi), kami akan turun," ungkapKetua KNKT
Soerjanto Tjahjono, Sabtu (9/1/2021) malam.
Selain berkoordinasi dengan
Basarnas, lanjut Soerjanto, koordinasi juga dilakukan KNKT ke TNI AL, Polri,
KPLP, bahkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
"(Koordinasi ke BPPT)
untukuntuk meminjam kalau diperlukan Kapal Baruna Jaya 4. Kapal Baruna
Jaya 4 ini dilengkapi dengan peralatan survei bawah air," ujar Soerjanto. [dhn]