"Bahkan untuk efek jera, partai politik yang terbukti membiarkan berkembangnya praktik politik uang dapat dijadikan alasan oleh pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik yang bersangkutan," ucap Saldi.
Catatan ketiga yaitu masyarakat perlu diberikan kesadaran dan pendidikan politik untuk tidak menerima dan menoleransi praktik politik uang.
Baca Juga:
Dua Oknum ASN Pemkab Manokwari Disebut Bawaslu Langgar Netralitas
"Dengan demikian, masalah praktik politik uang dan tindak pidana korupsi sebenarnya lebih disebabkan karena sifatnya yang struktural bukan sekadar disebabkan dari pilihan sistem pemilihan umum yang digunakan," kata Saldi.
Argumentasi terhadap alasan sistem proporsional terbuka mempersulit keterpilihan perempuan
Saldi berujar kebijakan mengenai 30 persen kuota perempuan di bidang politik merupakan satu kebijakan affirmative action yang sifatnya sementara dengan menerapkan adanya kewajiban bagi partai politik untuk menyertakan calon anggota legislatif bagi perempuan.
Baca Juga:
Tok! MK Putuskan Sistem Pileg 2024 Terbuka
Hal ini sebagai wujud tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi.
Keterwakilan perempuan 30 persen menjadi syarat mutlak bagi partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan kadernya dan sekaligus bertujuan menjaga peluang keterpilihan perempuan berperan di lembaga keterwakilan.
Sejauh ini, terang Saldi, ambang batas kuota 30 persen bagi perempuan dinilai cukup memadai sebagai langkah awal untuk memberi peluang kepada perempuan agar terpilih menjadi anggota DPR/DPRD.