Berkenaan dengan hal tersebut, lanjut Enny, secara normatif sejumlah undang-undang telah mengantisipasi agar pelaku atau aktor politik tidak mengancam keberadaan sekaligus keberlangsungan ideologi negara.
"Misalnya larangan partai politik untuk menganut asas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945," ujar Enny.
Baca Juga:
Dua Oknum ASN Pemkab Manokwari Disebut Bawaslu Langgar Netralitas
Contoh lain apabila terdapat partai politik yang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/marxisme-leninisme bahkan melakukan kegiatan dan akibat yang ditimbulkan bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, maka dapat dijadikan alasan oleh pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik tersebut.
Argumentasi terhadap alasan sistem proporsional terbuka mendistorsi peran parpol
Hakim konstitusi Saldi Isra berpendapat alasan pemohon yang menyebut sistem pemilu proporsional terbuka mendistorsi peran partai politik merupakan dalil yang berlebihan. Menurut Saldi, partai politik hingga saat ini mempunyai peran sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan demokrasi sehingga eksistensinya harus dipertahankan.
Baca Juga:
Tok! MK Putuskan Sistem Pileg 2024 Terbuka
Saldi menambahkan partai politik memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon termasuk penentuan nomor urut calon anggota legislatif. Lebih lanjut, partai politik juga bisa mengoreksi anggotanya di DPR atau DPRD lewat mekanisme recall atau Pergantian Antar Waktu (PAW).
"Dengan demikian, peran partai politik sama sekali tidak berkurang apalagi menyebabkan hilangnya daulat partai politik dalam kehidupan demokrasi," ucap Saldi.
Argumentasi terhadap alasan sistem proporsional terbuka memunculkan calon pragmatis dan tidak mewakili parpol