Oleh sebab itu, dia menilai pemberian remisi kepada napi korupsi yang proporsional.
"Maksudnya apa proporsional? Harus seimbang antara perbuatannya yang mencederai publik dan merugikan Indonesia rakyat banyak dengan kemudian pembinaan yang masanya, mohon maaf kadang hanya masanya 4 tahun sudah dianggap kemudian terpulihkan," ucap Ghufron.
Baca Juga:
Diduga Tilap Dana Desa Rp 425 Juta, Sekdes hingga Bendahara di Nias Barat Ditahan Kejari
Dia memahami soal UU Pemasyarakatan itu dapat memberikan hak kepada para napi koruptor untuk mengajukan remisi hingga pembebasan bersyarat.
Namun, menurut dia, dalam kenyataannya pemasyarakatan itu adalah subsistem proses peradilan pidana yang tak bisa berdiri sendiri dalam penilaiannya.
"Sekali lagi, KPK memahami bahwa Undang-Undang Pemasyarakatan itu memberikan hak untuk mengajukan remisi dan pembebasan bersyarat kepada para narapidana, tetapi KPK memberikan garis bawah bahwa pemasyarakatannya itu adalah subsistem dari proses peradilan pidana. Jadi tidak bisa berdiri sendiri bahwa seakan-akan penilaiannya hanya penilaian ketika di dalam lapas," ujarnya.
Baca Juga:
Sepanjang 2024, KPK Klaim Selamatkan Aset Negara Rp677,5 Miliar
Oleh sebab itu, Ghufron berharap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu juga mempertimbangkan soal perilaku narapidana dalam proses penyelidikan hingga persidangan.
"KPK ingin dan berharap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu juga harus mengapresiasi dan memerhatikan bagaimana perilaku pada saat penyelidikan, penyidikan, bahkan disidang," tegasnya.
Kemudian, Ghufron juga menyebut pemberian remisi berdasarkan sudut pandang masa pembinaan di lapas itu tidak masuk akal. Terlebih, menurut dia, keterampilan yang dikerjakan narapidana korupsi di lapas itu dianggap jadi sesuatu yang berkontribusi bagi negara dan kemanusiaan.