WahanaNews.co | Badan Geologi Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, total keseluruhan sumber daya batu
bara di Indonesia mencapai 143,73 miliar ton, dengan cadangan 38,81 miliar ton.
"Indonesia
punya kekayaan batu bara yang sangat besar. Hasil penelitian Badan Geologi
Tahun 2020 mencatat sumber daya batu bara sebanyak 143,73 miliar ton dengan
cadangan 38,81 miliar ton," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Eko
Budi Lelono, Jumat
(26/3/2021).
Baca Juga:
Ratu Batu Bara Tan Paulin Diperiksa KPK di Kasus Rita Widyasari
Sebanyak
90 persen cadangan batu bara di Indonesia memiliki kalori sedang dan rendah
untuk konsumsi industri ketenagalistrikan, smelter,
semen, pupuk, dan kertas.
Tahun
lalu, konsumsi batu bara dalam negeri atau Domestic
Market Obligation tercatat sebesar 121,89 juta ton, dengan penggunaan terbesar untuk
menyuplai Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Lebih
lanjut Eko menyebutkan, saat ini, lebih dari 50 persen pembangkit listrik di Indonesia adalah
PLTU yang berbahan bakar utama batu bara.
Baca Juga:
KPK Ungkap Eks Bupati Kukar Dapat US$5 per Matrik Ton dari Perusahaan Batu Bara
Terdapat
237 PLTU batu bara di Indonesia, dengan rincian sebanyak 31 persen terletak di Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara.
Kemudian,
Sumatera ada 25 persen, Sulawesi (17 persen), Maluku (2 persen), dan Papua (1 persen).
Total,
kapasitas terpasang PLTU batu bara sebesar 34,6 Giga Watt. Pemakaian batu bara sebesar 98,9
juta ton, dengan potensi Fly Ash
and Bottom Ash (FABA) sebanyak 9,89 juta ton.
Saat
ini, Indonesia menghadapi tantangan terkait isu lingkungan, karena
jumlah PLTU dan pemanfaatan batu bara yang disebut menghasilkan emisi
karbondioksida itu dinilai memicu peningkatan suhu bumi.
"Akibat
isu lingkungan inilah industri batu bara menghadapi tantangan. Kita harus bisa
menjawab tantangan ini," kata Eko.
Dalam
penelitian yang dilakukan Badan Geologi sejak 2018 hingga 2020 di Sumatera
Selatan dan Kalimantan Timur, batu bara mengandung logam tanah jarang atau Rare Earth Element (REE) sebesar 200
ppm, sedangkan konsentrasi dalam abu batu bara bisa mencapai 10 kali lipat atau
sekitar 2.000 ppm.
Seperti
diketahui, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk meningkatkan nilai tambah
batu bara melalui mekanisme hilirisasi sebagai upaya memaksimalkan potensi
sumber batu bara dalam negeri yang masih melimpah.
Dosen
Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Ferian Anggara, mengatakan, Indonesia harus melakukan studi komprehensif terkait
karakteristik batu bara dan karakteristik FABA untuk bisa memaksimalkan potensi
tersebut.
Mengacu
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2017 tentang Energi Baru dan Terbarukan,
lanjut dia, batu bara masuk ke dalam renewable
energy melalui program hilirisasi berupa gasifikasi maupun likuifaksi.
"Kita
harus melihat batu bara tidak hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai suatu
kesatuan utuh yang bisa dimanfaatkan mulai dari eksisting untuk suplai
pembangkit listrik hingga pemanfaatan limbah untuk menghasilkan produk
baru," kata Ferian.
"Kami
sebagai peneliti melihat itu sebagai pulang untuk bisa dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kepentingan Indonesia," tambah dia.
Polemik Abu Batu Bara
Sebelumnya,
Pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan abu hasil pembakaran atau fly ash bottom ash (FABA) batu bara
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari daftar limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3).
Direktur
Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan, keputusan tersebut
diambil karena pembakaran batu bara di kegiatan PLTU dilakukan pada temperatur
tinggi.
"Sehingga,
kandungan karbon tak terbakar atau unburnt
carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan," kata
dia.
Vivien
menjelaskan, hasil data dari uji karakteristik terhadap FABA PLTU, yang
dilakukan oleh Kementerian LHK tahun 2020, menunjukkan bahwa limbah PLTU itu
masih di bawah baku mutu karakter berbahaya dan beracun.
Hasil
uji karakterisitik menunjukkan, FABA PLTU tidak mudah menyala dan tidak mudah
meledak, suhu pengujian adalah di atas 140 derajat Fahrenheit.
Selanjutnya,
uji karakteristik juga tidak menemukan hasil reaktif terhadap Sianida dan
Sulfida, serta tidak ditemukan korosif pada FABA PLTU.
"Dengan
demikian, dari hasil uji karakteristik menunjukan limbah FABA dari PLTU tidak
memenuhi karakteristik sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun," ujar dia.
Selain
itu, hasil evaluasi dari referensi yang tersedia, menyatakan bahwa hasil uji
Prosedur Pelidian Karakteristik Beracun atau Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) terhadap limbah
FABA dari 19 unit PLTU, memberikan hasil uji bahwa semua parameter memenuhi
baku mutu.
Hasil
kajian Human Health Risk Assessment
(HHRA) yang telah dijalankan di lokasi untuk mengevaluasi potensi resiko bagi
pekerja lapangan menunjukkan bahwa tidak ada parameter yang melebihi Toxicity Reference Value (TRV) yang
ditentukan Kementerian Tenaga Kerja Indonesia, sebagaimana
didefinisikan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 2018.
"Walaupun
dinyatakan sebagai Limbah non-B3, namun penghasil limbah non-B3 tetap memiliki kewajiban untuk
memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam
persetujuan dokumen lingkungan," ucap Vivien. [qnt]