Namun, gagasan nilai patung itu berasal dari Sukarno yang
ingin menggambarkan petani sebagai kekuatan bangsa. Bagi Sukarno, sosok petani
merepresentasikan nilai-nilai kerakyatan yang memiliki arti penting dalam
membangun karakter bangsa.
"Nilai kerakyatan itu disimbolkan dengan petani.
Membawa bedil kan bukan berarti dia tentara. Itu pertahanan diri. Metafora itu.
Nah, lalu ada perempuan di situ. Sukarno tentu melihat perempuan memiliki peran
penting dalam memberikan dukungan," kata Dolorosa.
Baca Juga:
Pesan Socrates tentang Kekayaan dan Kemewahan
Dolo melanjutkan bakul yang dibawa patung perempuan memiliki
arti sesuap nasi dari para perempuan untuk membantu pejuang.
Menurut Dolo, Patung Pahlawan sebenarnya sama dengan patung-patung
era Sukarno yang ada di Jakarta. Karya seni tersebut dibuat untuk dinikmati
banyak orang dan memiliki tujuan yang lebih luas.
"Jadi dia [Patung Tugu Tani] sumber keindahan, sumber
pengetahuan. Apapun itu, karya seni membawa percakapan yang sangat baik untuk
kemajuan," katanya.
Baca Juga:
Hari lahir Pancasila sebagai Dasar Filosofi bagi Bangsa Indonesia
"Semua orang punya interpretasi, tapi tidak ada satu
orang pun yang punya kewenangan untuk menghilangkan itu. Oleh karena itu dia
[karya seni] harus dilindungi negara, karena itu punya fungsi sosial yang
sangat bermanfaat untuk masyarakat."
Dolo menegaskan bahwa setiap orang dapat mengutarakan
pendapatnya terhadap suatu produk seni, tapi bukan berarti boleh menghilangkan
karya tersebut. Ia berharap pemerintah dapat menjalankan fungsinya untuk
melindungi karya seni di tempat publik.
"Karya seni punya hak untuk menjalankan fungsinya
sebagai, pertama sumber keindahan, kedua pengetahuan, dan tiga menjadi medium
di mana orang bisa melakukan interpretasi dialog," kata Dolo. [qnt]